Syeikh Ahmad Mutamakkin di kenal juga
dengan nama Mbah Cebolek, beliau adalah seorang faqih yang disegani
karena berpandangan jauh dan luas. Sebagai guru besar agama beliau
berdakwah dari satu tempat ke tempat yang lain yang beliau anggap tepat
sasaran. Melihat penduduk di beberapa tempat yang berlainan bahasa dan
adatnya, dalam memilih daerah-daerah di pantai utara Jawa Syeikh Ahmad
Mutamakkin membuat pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu.
Adapun sejarah beliau menurut catatan
ahli tarikh, pada masa itu beliau melakukan misi dakwah menuju ke arah
Barat, sampai ke Desa Kalipang, suatu daerah yang terletak di Kecamatan
Sarang Kabupaten Rembang. Disana beliau menetap beberapa lama dan sempat
mendirikan sebuah Masjid. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan sampai
ke Cebolek, sebuah Desa di kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati Jawa
Tengah, yang waktu itu Cebolek masih bagian dari Kecamatan Juana.
Setelah bermukim di Cebolek beberapa lama, beliau kemudian hijrah ke
Desa Kajen, sebuah desa yang terletak di sebelah Barat Desa Cebolek.
Sebagai guru besar Agama, Syeikh Ahmad
Mutamakkin menyebarkan Agama dan membuka lapangan pendidikan Islam untuk
mencetak mubaligh dan kader-kader agama yang nantinya akan menyambung
tali perjuangan beliau.
Silsilah Beliau
Menurut KH Abdurrahman Wahid, Syeikh
Ahmad Mutamakkin berasal dari Persia (Zabul) propinsi Khurasan Iran
selatan. Akan tetapi, silsilah yang di percaya masyarakat setempat Ia
adalah bangsawan Jawa. Sedangkan menurut catatan sejarah lokal Syeikh
Ahmad Mutamakkin dari garis bapak adalah keturunan Raden Patah (Raja
Demak) yang berasal dari Sultan Trenggono. Sedangkan, dari garis Ibu
keturunan, Syekh Ahmad Mutamakkin dari Sayyid Ali Bejagung Tuban Jawa
Timur. Sayyid ini memiliki putra namanya adalah Raden Tanu dan Raden
Tanu memiliki seorang putri yang menjadi ibunda Syekh Ahmad Mutamakkin.
Diyakini bahwa Syeikh Ahmad Mutamakkin
adalah keturunan Raja Muslim Jawa Jaka Tingkir, cicit Raja Majapahit
terahir Brawijaya V. Ayah Syeikh Ahmad Mutamakkin adalah Sumahadiwijaya
adalah Pangeran Benowo II Raden Sumahadinegara bin Pangeran Benawa I
Raden Hadiningrat bin Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya bin ki Ageng
Penggingbin Ratu Pambayun binti Prabu Brawijaya V Raja Majapahit
terakhir. Ratu Pambayun adalah saudara perempuan Raden patah. Istri Jaka
Tingkir adalah putri Sultan Trenggonobin Raden Patah Raja Demak.
Menurut sumber lain, Syeikh Ahmad
Mutamakkin masih memiliki garis keturunan langsung dengan Nabi Muhammad
SAW. Silsilah Syeikh Ahmad Mutamakkin menunjukkan pertemuannya dengan
Nabi melalalui garis ayah:
- Syeikh Ahmad Mutamakkin bin
- Sumahadinegara bin
- Sunan Benawa bin
- Abdurrahman Basyiyan bin
- Sayyid Umar Ibnu Sayyid Muhammad bin
- Sayyid Ahmad bin
- Sayyid Abu Bakar Basyiyan bin
- Sayyid Muhammad Asadullah bin
- Sayyid Husain at-Turaby bin
- Sayyid Ali bin
- Sayyid al-Faqih al-Muqaddam bin
- Sayyid Aly bin
- Sayyid Muhammad Shahib al-Murbath bin
- Sayyid Ali Khali Qasyim bin
- Sayyid Alwy Ibnu Sayyid Muhammad bin
- Sayyid Alwy bin
- Imam Ubaidillah bin
- Imam Ahmad al-Muhajir ila Allah bin
- Imam Isa an-Naqib bin
- Imam Muhammad an-Naqib bin
- Imam Alwy al-Uraidhi bin
- Imam Jakfar al-Shadiq bin
- Imam Muhammad al-Baqir bin
- Imam Ali Zainal Abidin bin
- Sayyidina Husain bin
- Fatimah Azzahra binti
- Sayyidina Muhammad SAW.
Silsilah lain berbeda pada tingkat Sayyid Alwy ke bawah, silsilah ini:
- Syeikh Ahmad Mutamakkin bin
- Sumahadinegara bin
- Sunan Benawa bin
- Putri sultan Trenggono binti
- Sutan Trenggono bin
- istri Raden Patah binti
- Maulana Rahmat bin
- Maulana Ibrahim bin
- Jamaluddin Husain bin
- Sayyid Ahmad Syah bin
- Sayyid Abdullah bin
- Sayyid Amir Abd al-Malik bin
- Sayyid Alwy dan seterusnya seperti silsilah di atas.
Telah disebutkan bahwa Pangeran Benowo II
pada tahun 1617 M melarikan diri ke Giri untuk meminta suaka politik
atas serangan Mataram. Di ceritakan juga, adipati Tubanyang menjalin
hubungan kekerabatan dengan {{pangeran Benawa II]]. Maka dapat
diasumsikan bahwa dari hasil perkawinan itu lahir Sumadiwijaya (nama
ningrat al-Mutamakkin) tahun kelahiranya tidak diketahui secara tepat,
oleh karena itu, masih di perlukan pelacakan secara cermat tentang
peninggalan dan silsilahnya.
Syeikh Ahmad Mutamakkin di lahirkan di
Desa Cebolek, 10 Km dari Kota Tuban, Ia kemudian di kenal dengan nama
Mbah Mbolek. Nama Al-Mutamakkin sebenarnya adalah gelar yang di peroleh
dari rihlah ilmiahnya di timur Tengah. Al-Mutamakkin di ambil dari
Bahasa Arab yang artinya orang yang meneguhkan hati atau diyakini akan
kesuciannya.
Di Desa Cebolek Tuban, Syeikh Ahmad
Mutamakkin menghabiskan usia mudanya. Desa Cebolek di Tuban yang
sekarang bernama Desa Winong *). Di sana terdapat peninggalannya berupa
masjid Winong. Masjid tersebut tepat berada di tepi sungai. Pelacakan
secara mendalam mengalami kesulitan karena masjid sudah di pugar
berkali-kali akibat sering terkena banjir besar. Di dalam masjid
tersebut terdapat klebut (kayu agak lonjong bulat tempat untuk menjemur
kopyah atau peci haji) dan batu kecil mirip seperti asbak. Di depan
masjid terdapat sawo kecik yang cukup besar yang di yakini terdapat
keris pusaka Syeikh Ahmad Mutamakkin. Desa sunyi senyap dan banyak
penyamun ini berkat usaha KH. Mutamakkin berubah menjadi Desa yang penuh
damai dan sejahtera.
Riwayat Intelektual
Di ceritakan pada abad ke 17 hubungan
Tuban dan Pati dengan daerah Banten dapat di lihat dari seringnya
pelabuhan Tuban dan Juana (Pati) di singgahi para pelayar dari Banten.
Kedua pelabuhan itu mempunyai kedudukan penting bagi Mataram dalam
distribusi hasil pertanian dari pedalaman. Bahkan, dengan kebijakan
Mataram yang membagi empat wilayah daerah pesisir dua pelabuhan tersebut
mampu menandingi pelabuhan Semarang dan Jepara. Terlebih lagi ketika
Jepara dipandang tidak aman karena sering terjadi pembajakan kapal.
Diduga Sheikh Ahmad Mutamakkin mengawali
perjalanan intelektualnya dengan berlayar ke Banten dan di sana beliau
bertemu dengan ulama besar Syekh Muhammad Yusup al Makassari yang
kemudian beliau melanjutkan ke Negeri Timur Tengah. Dapat juga di duga
sebelum sampai ke Banten beliau singgah ke Tegal Jawa Tengah. Hal ini di
dasarkan atas makam ayahnya (pangeran Benawa II) yang diyakini terdapat
di Tegal. Bahkan, di daerah tersebut terdapat Desa yang bernama Kajen.
Sepulang dari Timur Tengah, Syeikh Ahmad Mutamakkin tidak kembali ke
Tuban melainkan ke sebuah Desa di Pati bagian utara.
Pendapat dari Keluarga
Sedangkan menurut KH. Masyfu’ Duri salah
satu keluarga dekat dari keturunan Syeikh Ahmad Mutamakkin, riwayat
intelektual Syeikh Mutamakkin di peroleh pertama dari keluarganya
sendiri karena keluarga Syeikh Ahmad Mutamakkin merupakan putra salah
satu keluarga ningrat dan keluarga terdidik yaitu putra salah satu
Adipati di Tuban yaitu Hadinegoro atau Sumohadiningrat. Namun, sejak
kecil Syeikh Ahmad Mutamakkin tidak menyukai gaya hidup Keraton yang
gelamor kemudian melakukan pengembaraan ke arah Barat hingga sampai
Sarang Rembang dan menetap sementara di Sarang dan mendirikan sebuah
masjid, kemudian melanjutkan perjalanan dakwah ke arah Barat dan
kemudian singgah di Cebolek.
Setelah menetap di Cebolek sementara,
Syeikh Mutamakkin setiap malam setelah melakukan shalat malam atau
shalat Tahajud beliau melihat sinar ke arah atas, dan dicarilah sinar
itu ke arah Barat hingga ketemu pusat sinar yaitu di kediaman KH
Shamsuddin di Desa Kajen Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati Jawa Tengah.
Kemudian Syeikh Mutamakkin berbaiat menjadi murid dan santri KH
Shamsuddin. Akhirnya Syeikh Mutamakkin menjadi murid KH Shamsuddin,
karena kealimannya, kebagusan akhlaqnya dan kecerdasannya, Syeikh
Mutamakkin kemudian dijodohkan dan diambil menantu KH. Shamsuddin dengan
seorang putrinya bernama Nyai Shalihah.
Setelah menjadi santri KH. Shamsuddin,
Syeikh Mutamakkin kemudian melanjutkan perjalanan intelektualnya ke
Timur Tengah. Syeikh Mutamakkin belajar di Timur Tengah dalam beberapa
lama, salah satu gurunya adalah makamnya ada di Madinah. Makam gurunya
Syeikh Mutamakkin ada lubangnya, dan lubangnya selalu mengeluarkan angin
yang berbau harum. Namun, karena di sana menganut paham Wahabi sekarang
makam guru Syeikh Mutamakkin tersebut sudah tidak terawat dan dibuangin
sampah oleh masyarakat Arab.
Sepulang dari Timur Tengah pada abad 18,
Syeikh Ahmad Mutamakkin terdampar di Desa Cebolek, tepatnya di wilayah
Pati Utara wilayah Kawedanan Tayu. Desa Cebolek merupakan nama yang
diberi oleh Syeikh Mutamakkin yang diambil dari kondisinya ketika
terhempas dipantai yang di bawa oleh muridnya dari bangsa Jin kemudian
dipindahkan ke atas seekor ikan mladang dan jebul-jebul Melek (tiba-tiba
terbuka matanya atau terjaga sepulang dari tanah suci Mekah). Dapat
pula diasumsikan bahwa beliau terdampar di pantai timur Cebolek karena
kapal yang ditumpanginya dibajak oleh pembajak dari Jepara yang pada
waktu itu merajalela di laut utara Jawa.
Sepulang dari Timur Tengah pada abad 18,
Syeikh Ahmad Mutamakkin terdampar di Desa Cebolek, tepatnya di wilayah
Pati Utara wilayah Kawedanan Tayu. Namun, menurut sejarah tradisi lisan
yang sekarang masih terpelihara dengan baik, sebenarnya terhempasnya
Syeikh Mutamakkin di tengah lautan itu karena Syeikh Mutamakkin
dikhianati muridnya yang dari bangsa jin. Menurut cerita KH. Maspu’duri,
ketika mau berhaji, Syeikh Mutamakkin memanggil salah seorang muridnya
yang dari bangsa jin untuk mengantarkan berhaji ke Mekah. Sewaktu pulang
dari Mekah, Syeikh Mutamakkin juga diantarkan muridnya dari bangsa jin,
ketika sampai di tengah lautan berpapasan dengan Ratu jin Kafir. Dan
Ratu jin kafir itu meminta agar Syeikh Mutamakkin di lepaskan saja oleh
muridnya. Kalau tidak mau melepaskan, maka ratu jin kafir itu akan
membunuh murid dari jin Syeikh Mutamakkin. Syeikh Mutamakkin kemudian
dikhianati oleh muridnya dan ditinggalkan sendirian di tengah lautan,
kemudian Syeikh Mutamakkin pasrah kepada Allah dan memejamkan mata,
sehingga ditolong oleh ikan Mladang diantarkan ke pinggir pantai dan
kemudian Syeikh Mutamakkin membuka matanya (jebul-jebul melek). Maka
daerah pantai tempat terhempasnya Syeikh Mutamakkin ini di namakan
Cebolek.
Guru Beliau
Guru Syeikh Ahmad Mutamakkin termaktub
dalam serat Cebolek adalah Syeikh Zayn dari Yaman. Figur ini juga di
kenang oleh masyarakat di sekitar makam Syeikh Sheikh Ahmad Mutamakkin.
**) Syeikh Zein a adalah Syekh Muhammad Zayn al Mizjazi al Yamani,
seorang tokoh tarikat Naqsabandiyah yang sangat berpengaruh. Meski tahun
kehidupan Syeikh Zayn tidak di ketahui pasti, tetapi ayahnya Syekh
Muhammad al Baqi al Mizjaji adalah guru Syekh Yusuf al Makassari dan
Syekh Abdurrouf As Singkili yang wafat pada tahun 1663 dan putranya
Syekh Abdul Khaliq Ibnu Zayn al Mizjaji wafat tahun 1740.
Tidak diketahui secara persis Syeikh
Ahmad Mutamakkin berguru kepada Syeikh Muhammad Zayn al-Yamani. Baik
serat Cebolek maupun lokal historis masyarakat tidak mengungkapkannya,
juga tidak tentang guru-gurunya yang lain. Akan tetapi, kita bisa
bercermin pada riwayat historis murid Jawi pendahulunya Syekh Abdul Rauf
as Singkili danSyekh Yusuf al Makassari yang menyusuri kawasan Timur
dan selatan Arabia termasuk Yaman sebelum sampai ke Haramain (Mekah dan
Madinah). Diasumsikan, Syekh Ahmad Mutamakkin mengikuti rute perjalanan
serupa sebelum akhirnya sampai ke Mekah, dengan demikian dapat
melaksanakan ibadah Haji.
Rihlah ilmiyah dan jaringan keilmuan
Syeikh Ahmad Mutamakkin penting untuk di ungkapkan dalam tulisan ini.
Jika benar Ia mengikuti rute gurunya al Singkili dan al Makassari, maka
dapat dicatat disini beberapa tempat yang disinggahinya, yaitu Dhuha
(Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, dan akhirnya Mekah dan
Madinah. Tetapi, sebelum ke Timur Tengah penting untuk dicatat tentang
kemungkinan pertemuan Syeikh Mutamakkin dengan Muhammad Yusuf al
Makassari di Banten sekitar 1691 M. Syeikh Al-Makassari di asingkan di
Tanjung Harapan pada tahun 1694 M. Kemungkinan ini di dasarkan atas
catatan dalam karangan Syeikh al-Mutamakkin yang menyebutkan Tarikat
Naqsabandiyyah dan Tarikat Khalwatiyyah yang diasumsikan diinisiasi atau
sekedar di perkenalkan oleh Syeikh al-Makassari.
Berkat Syeikh al-Makassari kemudian
beliau diperintahkan belajar ke Timur Tengah mengikuti rute yang pernah
dilakukan oleh al-Makassari. Dari beberapa tempat dalam rutenya di
perkirakan beliau juga belajar beberapa guru dan diinisiasi oleh guru
Tarikat yang hidup pada masa itu selain berguru kepada Syeikh Zayn
al-Yamani.
Perlu dicatat di sini beberapa murid
Syeikh al-Singkili (w. 1693) yang sezaman dan barangkali bertemu dengan
Syeikh al-Mutamakkin antara lain Syekh Abdul Muhyi asal Jawa Barat,
Syekh Abdul al Malik bin Abdullah (1089-1149/1678-1736) asal Semenanjung
Melayu yang di kenal sebagai tokoh pulau Manis dari Trengganu, Syekh
Daud al JawiFansuri bin Ismail bin Agha Mustafa bin Agha Ali al-Rumi.
Yang terahir ini adalah murid kesayangan Syeikh al-Makassari yang juga
sebagai Khalifah utamanya.
Barangkali Syeikh Assingkili-lah yang
yang menginisiasi Syeikh al-Mutamakkin ke dalam Tarikat Sattariyyah
meski sumber-sumber yang ada tidak memberikan angka tahun pertemuannya,
dugaan ini didasarkan atas catatan teks karangan Syeikh al-Mutamakkin
yang membicarakan Tarikat Sattariyyah berbahasa Arab Melayu (Jawa
Pegon).
Ketika Syeikh al-Mutamakkin sampai di
Yaman, Syekh Muhammad Abdul al Baqi al Mizjaji sudah wafat dan diganti
oleh anaknya Syekh Zayn bin Muhammad Abdul al Baqi al Mizjaji. Selain
Syeikh al-Mutamakkin, Flecer menegaskan, seorang muslim Cina Ma Mingxin
juga belajar dengan Syekh Zayn bin Muhammad Abdul al Baqi al Mizjaji
(1053-1138H/1643-1726M) dan putranya Abdul al-Khaliq wafat 1740 M.
Begitu juga ketika sampai di Makkah dan
Madinah, Syeikh al-Mutamakkin tidak menemui guru-guru Syeikh al-Singkli
dan Syeikh al-Makassari karena mereka sudah meninggal dunia. Ia hanya
menemui generasi selanjutnya yang dapat dicatat dari kolega-kolega
Syeikh al-Singkli dan Syeikh al-Makassari. Karena ada baiknya di sini
dikemukakan hubungan antara Syeikh al-Singkli dan Syeikh al-Makassari
serta ulama-ulama yang berperan yang hampir sezaman dengan Syeikh
al-Mutamakkin agar dapat di ketahui situasi dan interelasi keilmuan pada
masa itu.
Jika guru-guru Syeikh al-Makassari antara lain:
- Syekh Umar bin Abdullah Basyaiban,
- Syekh Muhammad bin Abdul Baqi al Naqsabandi,
- Sayyid Ali al Zabidi,
- Syekh Muhammad bin al Wajih Al Sa’di al Zamani,
- Syekh Ahmad al Qussyayi,
- Syekh Ibrahim al Qurani dan Syekh Hasan al Ajami,
- Syekh Muhammad al Mazru’ al Madani,
- Syekh Abdul Karim al Lahuri,
- Syekh Muhammad Muraz al Sami,
- Syekh Ayyup bin Ahmad bin Ayyup al Dimasqi a -Khawati (994-1071H/1586-1661 M), maka guru-guru Syeikh al-Mutamakkin adalah generasi berikutnya yang bisa jadi murid-murid dari ulama tersebut atau teman-teman Syeikh al-Makassari. Di banding murid-murid Syeikh al-Makasari lainnya, Syeikh al-Mutamakkin lebih dulu berkiprah karena murid-murid Syeikh al-Makassari hidup dan berkiprah pada abad 18 sedangkan Syeikh al-Mutamakkin hidup pada masa peralihan abad 17 dan 18.
Murid Beliau
Syeh Ahmad Mutamakin memiliki murid-murid
besar seperti Kyai /Syekh Ronggo Kusumo, Kyai Mizan, R. Sholeh dan
murid-murid lainnya yang tersebar dimana-mana.
Karya dan Jasa
Karir kehidupan Syeikh Mutamakkin adalah
sebagai Ulama Besar dan Budayawan yang telah berjasa banyak dalam
menyebarkan Islam di Pantai Utara Pati Jawa Tengah dengan pusatnya Desa
Kajen sebagai basis gerakan perjuangan dakwahnya Syeikh Mutamakkin.
Bukti-bukti sosiologis dan arkeologis dari dampak gerakan dakwah Syeikh
Mutamakkin adalah berkembangnya Islam di wilayah pantai Utara Pati
dengan pesat. Mayoritas masyarakat diwilayah ini adalah beragama Islam.
Banyak berkembang Podok Pesantren-Pondok pesantren dan Madrasah-madrasah
dan majlis taklim sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan Islam.
Selain sebagai tokoh Ulama Besar, Syeikh
Mutamakkin dalam pandangan masyarakat setempat diakui sebagai seorang
auliya’. Syeikh Mutamakkin mendapatkan penghormatan dan pemulyaan yang
begitu tinggi oleh masyarakat Kajen dan sekitarnya. Setiap tahun di
gelar tradisi ḥaul beliau setiap tanggal 9-10 Syuro. Acara ḥaul ini
berlangsung selama satu bulan penuh. Segala kegiatan baik yang bersifat
religius maupun hiburan kesenian rakyat di pentaskan dalam acara ini.
Para pengunjung datang dari berbagai daerah, selain meyaksikan perayaan
ḥaulnya Syeikh Mutamakkin juga sekaligus melakukan ziarah di makamnya.
Sebagai ciri Ulama besar, maka Syeikh Mutamakkin menghasilkan karya
ilmiah yang memuat pikiran-pikiran keagamaannya, yaitu Teks Arsy
al-Muwahiddūn, dan kidung sufi al-Mutamakkin. Didalam teks tersebut
memuat pikiran-pikiran keagamaan Syeikh Mutamakkin, diantaranya adalah
mengenai masalah tauhid atau aqidah, masalah fiqih, dan masalah tasawuf.
Namun, keberadaan teks ini adalah lebih dominan muatan mengenai masalah
Tasawufnya. Keberadaan teks ini masih disimpan oleh generasi sepuh
Syeikh Mutamakkin dan tidak setiap orang dapat mengaksesnya, atau bisa
dibilang merupakan teks pusaka.
Perkembangan Ekonomi Masyarakat Kajen
Keberadaan Syeikh Ahmad Mutamakkin di
Kajen membawa perubahan terhadap perkembangan sosial ekonomi masyarakat
Kajen, perkembangan ekonomi ini akibat dari adanya perkembangan lembaga
pendidikan di Kajen. Keberadaan Syeikh Mutamakkin di Kajen ibarat
matahari ditengah-tengah Desa Kajen yang menyinari masyarakat Kajen dan
sekitarnya dengan cahayanya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
indikator diantaranya adalah adanya pertumbuhan dan perkembangan lembaga
pendidikan Islam di Kajen, baik lembaga pendidikan formal maupun non
formal. Lembaga pendidikan non formal berupa munculnya Pesantren
dimana-mana di setiap sudut Desa Kajen, majlis ta’lim yang menyebar di
setiap gang dan perkampungan desa Kajen, dan berdirinya lembaga-lembaga
pendidikan Islam formal mulai dari PAUD, TPQ,TK Islam, MI, MTs, MA, SMK,
dan Perguruan tinggi Islam. Disamping itu, juga dapat di lihat dari
keadaan dan kondisi sosial masyarakat Kajen yang sangat religius,
munculnya ulama-ulama dan para santri di Desa ini yang kemudian
melanjutkan dakwah Islam di masyarakat Kajen dan sekitarnya, bahkan
alumni dari Pesantren Kajen sekarang telah menyebar dari berbagai daerah
di tanah air.
Dari perkembangan Pesantren dan madrasah,
dan majlis taʽlim di Kajen telah membawa perubahan bentuk masyarakat
Kajen yang lebih pas disebut suatu komunitas masyarakat muslim. Hal ini
membawa dampak perubahan terhadap ekonomi masyarakat, dari banyaknya
siswa dan santri yang menuntut ilmu di Kajen maka membawa lapangan kerja
baru bagi masyarakat Kajen, banyak masyarakat Kajen, oleh karena itu
sebagian masyarakat Kajen menggantungkan hidupnya dengan berprofesi
sebagai pedagang, sebagian lagi menjadi guru Madrasah, guru sekolah dan
menjadi ustad yang memberikan ceramah kemana-mana atau menjadi seorang
Kyai yang memberikan pengajaran di Pesantren-pesantren. Dan sebagian
lagi masyarakatnya membuka toko-toko pakian muslim, toko teks, toko
buku, toko minyak wangi, warung makanan dan minuman, dan toko-toko yang
menyediakan segala kebutuhan dan pernak-pernik para santri dan
santriwati. Di sepanjang jalan masuk makam Syeikh Mutamakkin di Desa
Kajen adalah berderet toko-toko yang menjual perlengkapan para santri
dan keperluan para peziarah yang datang, warung-warung makanan dan
minuman buka sampai 24 jam. Hal ini memudahkan bagi para peziarah dan
santri yang ingin menikmati suasana Desa Kajen setelah melakukan ziarah
di makam Syeikh Mutamakkin.
Makam Syeikh Mutamakkin selalu ramai di
kunjungi para peziarah. Banyak para santri yang melakukan muthala’ah
teks di sana, sebagian lagi menghafal al-Qur’an di lokasi makam sehingga
para penjual makanan dan minuman selalu ramai dikunjungi para santri
dan para peziarah. Lebih-lebih pada waktu peringatan ḥaul Syeikh
Mutamakkin, para pedagang muncul disetiap jalan dan sudut Desa Kajen,
Desa Ngemplak, Desa Buluimanis, Desa Sekarjalak, hingga Desa Waturoyo.
Keadaan yang demikian ini membawa keuntungan dan keberkahan tersendiri
bagi para pedagang karena acara ḥaul Syeikh Mutamakkin ini berlangsung
selama sebulan dan dihadiri puluhan ribu pengunjung. Prosesi ini acara
ḥaul ini kemudian di lanjutkan dengan acara ḥaul Raden KH. Ronggokusumo
yang terletak di desa Kajen dan sekaligus merupakan murid dan kemenakan
Syeikh Ahmad Mutamakkin.
Keterhubungan dengan Kajen
Menurut pengamatan dari para sesepuh dan
cerita yang kini masih beredar di masyarakat setempat, konon pada zaman
dahulu yang termasuk orang pertama di Desa Kajen sebelum Syeikh Ahmad
Mutamakkin ialah KH. Syamsuddin, kemudian KH. Syamsuddin mempercayakan
serta menyerahkan Desa Kajen kepada Syeikh Ahmad Mutamakkin. Setelah
mendapatkan kepercayaan tersebut, akhirnya beliau berkenan Hijrah dan
menetap di Desa Kajen. Sebagaimana cerita Kyai Telingsing yang
menyerahkan dan mempercayakan Kota Kudus kepada Sunan Kudus. Dari
peristiwa inilah kemudian Desa itu di namakan Kajen, berawal dari
istilah Kaji Ijen (istilah Jawa).
Perlu di tambahkan disini, bahwa bekas
kediaman KH. Syamsuddin terletak di sebelah utara Perguruan Mathaliul
Falah mengarah ke timur dan sampai sekarang periginya (sumur) masih
terawat dengan baik. Adapun makamnya terletak di sebelah Barat makam
Syeikh Ahmad Mutamakkin atau tepatnya di sebelah selatan Telaga.
Kemungkinan tempat tinggal KH. Syamsuddin
berada di sebelah utara Madrasah Mathaliul Falah adalah ada benarnya,
karena dapat di temukan sisa-sisa peninggalan KH. Syamsuddin berupa
sumur tua yang sampai sekarang masih terawat dengan baik. Sumur tua itu
sekarang di rawat oleh juru kunci sumur Mbah Shamsuddin.
Disumur tua ini dapat di jumpai para
peziarah yang melakukan mandi dan mengambil air dari sumur bekas
peninggalan Mbah Syamsuddin, sumur tua ini di yakini oleh masyarakat
setempat dan sekitarnya terkandung berkah dan karomah tertentu yang
dapat digunakan untuk mengobati suatu penyakit, khususnya bagi orang
yang terkena santet, teluh, tenung, leak, guna-guna dan berbagai jenis
sihir lainnya, disamping itu juga untuk suatu hajat tertentu.
Bukti-bukti arkeologi keberadaan Mbah
Syamsuddin ini adalah dengan adanya makam beliau yang terletak di
sebelah selatan Makam Sheikh Ahmad Mutamakkin dan adanya peninggalan
sumur yang diyakini keramat oleh sebagian masyarakat yang terletak di
sebelah utara Madrasah Mathaliul Falah. Sumur ini menurut penuturan
masyarakat setempat adalah sumur petilasan (peninggalan) Mbah
Syamsuddin, sumur ini sekarang di jaga oleh juru kunci. Di sumur ini
setiap hari banyak di jumpai para pengunjung yang mengambil air dan
mandi disini untuk berbagai keperluan diantaranya untuk keperluan
berobat khususnya bagi orang-orang yang terkena tenung, santet, dan
segala jenis sihir lainnya, serta untuk berbagai keperluan lainnya.
Perekat Jaringan Sejarah Ulama
Sebagaimana diketahui bahwa ulama utama
yang terdapat pada jaringan ulama abad-17 dan ke-18 adalah Syekh Ibrahim
al Qurani (1614-1690 M) yang merupakan murid dari Syekh al Qusyayi.
Kenyataan bahwa Syeikh al-Qurani memiliki posisi sangat penting dalam
perkembangan jaringan ulama lebih lanjut, terlihat tidak hanya melalui
jumlah murid-muridnya tetapi juga melalui karya-karya yang cukup banyak.
Dia merupakan titik bersama bagi terbentuknya garis-garis hubungan
ulama-ulama pada abad ke-17 dan ke-18, bahkan beliau dipilih sebagai
Mujaddid abad-17.
Diantara murid-murid Syeikh al-Qurani
terdapat beberapa orang yang memainkan peranan penting dalam melanjutkan
jaringan ulama setelahnya. Di tangan Syekh Ahmad al Nakili, Tarikat
Naqsabandiyyah lebih diterima masyarakat Arab. Syekh al Nakili berperan
besar juga dalam memperkuat hubungan masyarakat Muhaddist dengan kaum
sufi. Dia juga memiliki sisilsilah Tarikat Naqsabandiyyah dan Tarikat
Sattariyyah dari Sayyid Mirr Kalal bin Mahmud al Balki.
Dalam perjalanan intelektualnya yang
tercatat dalam karyanya Bughyat al-Thalibin, Syekh al Nakili menyebut
beberapa ilmu yang diperolehnya dan tarikat-tarikat yang diinisiasikan
padanya yaitu Tarikat Shadhiliyyah, Tarikat Nawawiyyah, Tarikat
Qadiriyyah, Tarikat Naqsabandiyyah, Tarikat Sattariyyah dan Tarikat
Khalwatiyyah. Jadi, sebagaimana di katakan oleh Murtadho al Zabidi,
Syekh al Nakili menghubungkan banyak ulama melalui studi Haditsnya.
Ulama lain yang berpengaruh pada
pergantian abad ke-17 dan ke-18 adalah Syekh Hasan bin Ali bin Muhammad
bin Umar al Ajami (w di Thaif pada 1702). Keterlibatan sepenuhnya dalam
jaringan Syekh Hasan al Ajami mempunyai pengetahuan menyeluruh dalam
ilmu-ilmu keislaman. Dia termasyhur sebagai faqih, muhadits, sufi
dansejarawan. Dia menjadi titik temu berbagai studi hadits Syiria,
Mesir, Magrib, Hijaz, Yaman dan anak benua India.
Tidak mengherankan, seperti pendapat
al-Katani, bahwa murid-murid di Haramain tidak sempurna dalam studi
Hadits sebelum belajar dan menerima Hadits darinya. Mereka memadati
halaqahnya di dekat bab al-Wada’ dan bab Umm Hani, masjidil haram Mekah.
Hasilnya isnad dan periwayatan hadits dari Syekh Hasan al Ajami luar
biasa luas.
Alim selanjutnya yang pantas disebutkan
di sini adalah [[Syekh Barzanji | Syekh Muhammad bin Abdul al Rasul al
Barjan. Setelah belajar di Mesir, Syekh Barzanji kembali ke Haramain dan
kemudian menetap di Madinah di mana dia wafat pada 1692 M. Dia juga
terkenal sebagai muhaddits, faqih, dan Syekh Tarikat Qadiriyyah yang
mengabdikan diri pada penulisan dan pengajaran.
Alim penting yang perlu di kemukakan
adalah Syekh Abdullah bin Salim bin Muhammad Salim bin Isa al Basri al
Makki yang wafat di Mekkah pada 1722 M. Seperti terlihat dalam karyanya
teks al-Imdad bi Ma’rifah Ulum al-Isnad, pendidikannya sangat lengkap
menuntut ilmu dari banyak ulama.
Meski Syekh al Basri ahli dalam hampir
ilmu-ilmu keislaman, dia terutama terkenal muhaddits besar bahkan dia
dijuluki Amir al-Mu’minin fi al-Hadits. Melalui teks fi al-Imdad, dia
memberikan sumbangan yang signifikan dalam studi hadits antara lain
memberikan nama ulama yang termasuk dalam isnad superior. Tetapi seperti
ulama terkemuka lainSyeikh al Basri juga merupakan sufi terpandang. Dia
adalah Syeikh beberapa tarikat seperti Naqsabandiyyah, Shadhiliyyah dan
Nawawiyyah. Di antara muridnya adalah Syekh Ala’ Aldin bin Abdul al
Baqi al Mizjaji al Zabidi, Syekh Abu Thahir al Qurani, Syekh Muhammmad
Hayyat al Sindi dan Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang seluruhya
merupakan komponen-komponen utama jaringan ulama abad 18.
Alim terahir adalah Syekh Abu Tahir bin
Ibrahim al Qurani (1081-1145H/1670-1733M). Ia lahir dan wafat di
Madinah. Guru-guru utamanya adalah ayahnya sendiri Syekh Sulaiman al
Magribi, Syekh al Ajami, Syekh al Barjanji, Syekh al Basri dan Syekh al
Nakili. Abu Thahir terutama dikenal sebagai Muhaddits, tetapi beliau
adalah faqih dan sufi. Dalam berbagai karyanya terlihat upaya
menafsirkan kembali doktrin-doktrin Ibnu Arabi dan memiliki keahlian
dalam mistisisme filosofis.
Ulama-ulama tersebut selain tokoh sufi
juga dikenal sebagai muhaddits yang dapat di percaya, ini menunjukkan
bahwa neosufisme telah makin kuat dan menemukan bentuknya pada dekade
ini. Nampaknya, para ulama Haramain menyadari semakin pentingnya jalan
essoteris (haqiqat) akibat tarikat-tarikat yang dibawa, misalnya oleh
ulama-ulama dari India menghasilkan interaksi, rapprocement dan
interaksi lebih inten diantara ulama sufi dengan ulama fiqih yang
menekankan jalan eksoteris (Syari’ah).
Syekh Abdul Khaliq al Mizjaji putra Syekh
Zayn al Mizjaji nampaknya meninggal dunia hampir sezaman dengan Syekh
al Mutamakkin yaitu sekitar 1740 M. Ulama-ulama pergantian tersebut bisa
jadi kemungkinan karena tak ada data yang mengemukakannya, tetapi
setidaknya dapat memberikan gambaran situasi jaringan ulama yang
melingkupinya.
Dengan demikian kiprah Syeikh
al-Mutamakkin juga termasuk dalam karakteristik neosufisme. Ini
diperkuat dengan catatan yang banyak mengutip Hadits-Hadits dalam
menjelaskan paham keagamaannya. Sementara dilihat dari gelarnya yaitu
al-Mutamakkin tingkat kedudukan seorang yang utama, kokoh dalam
pendirian dan kuat memegang kebenaran seolah dia diyakini atau
diteguhkan sebagai wali, pemimpin para wali di dunia yang dalam thabaqat
wali disebut Wali Quthub.
Syeikh al-Mutamakkin melakukan praktek
tasawuf falsafi dan tasawuf sunni dalam satu tindakan tasawuf amaly. Ia
juga mendialektikan dengan tradisi lokal. Pekerjaan yang sungguh berat
memang, akan tetapi bentuk upaya Syeikh al-Mutamakkin menjernihkan Islam
Jawa dengan kebenaran Tauhid. Mereka yang tidak memahami secara
langsung pemikiran dan paham keagamaanya tentu akan mudah menuduh yang
bukan-bukan. Dan inilah yang termasuk menjadi polemik sebagaimana
tergambarkan dalam serat Cebolek.
Pengadilan Beliau
Dalam Serat Cebolek di kisahkan tentang
pengadilan Syeikh Ahmad Mutamakkin terjadi pada masa pemerintahan Sunan
Pakubuwono II. Namun cerita yang dimuat dalam versi ini berbeda dengan
apa yang sebenarnya menjadi kenyataan dimasyarakat. Syeikh Ahmad
Mutamakkin begitu sangat dihormati oleh masyarakat setempat. Dalam versi
serat Cebolek ini Syeikh Mutamakkin di gambarkan sebagai seorang Kyai
yang lebih mengedepankan mistik.
Bahkan, di tuduh yang bukan-bukan yaitu
dianggap seorang yang telah melakukan pembangkangan terhadap syari’at,
untuk lebih jelasnya cerita yang dimuat dalam serat Cebolek adalah
sebagai berikut: Tersebutlah pengadilan Syeikh Mutamakkin yang di
ceritakan dalam serat Cebolek yang terjadi pada masa pemerintahan Sunan
Pakubuwono II. Sebuah ajaran yang menuntun pada tindakan terpuji. Cerita
ini mengenai Syeikh Mutamakkin dari daerah Tuban. Ia telah membuka ilmu
rahasia dan menyiarkan rahasia ilmu haq yang memegang teguh hakikat dan
menolak Syari’ah. Karena dia menolak hukum syari’at, pengetahuannya
tentang hakikat menjadi tidak bisa diterima, membingungkan dan kacau, ia
membuka tabir yang menyembunyikan rahasia-rahasia itu, dilubangi dan
digulung dan dengan begitu tersebarlah kerusuhan diseluruh negeri,
kelakuan yang tidak terpuji.
Keberaniannya dalam kepercayaan tanpa
halangan, orang baik kehilangan martabatnya, kekuatan mempengarui mereka
seperti sihir, keangkuhan bertambah. Ketika Ia dengan kasar
meninggalkan hidup tapa hatinya tidak ingat dan teburu-buru. Karena
kecongkakannya Ia telah di kuasai celaka dan merasa diri utama. Akhirnya
Raja campur tangan, mencoba menyelesaikan masalah. Setan-setan telah
mengipasi orang terpelajar tanpa tanpa watak mulia ini, yang membawa
orang-orang tersesat, yang kata-katanya kosong sama sekali yang hatinya
lemah dan takut. Keahliannya dalam mengemukakan ilmu mistik mendapat
simpati banyak orang, sungguh keinginannya telah menyihir orang banyak.
Pada mulanya hanyalah kata-kata tetapi kemudian telah menimbulkan
kejahatan yang nyata. Semakin hari semakin luas pengaruhnya ada sebelas
orang yang di anggap sebagai Iblis, yang omongannya ngawur dan mereka
ada dalam kemalangan terus menerus. Demikianlah cerita tentang ulama
jawa yang hidup dalam zaman yang mulia Sunan Prabu Amangkurat menjadi
terkenal, orang-orang membicarakannya karena ia membahayakan seluruh
kaum ulama.
Ajarannya tentang ilmu mistik dianggap
sesat karena ia menyebut dirinya sama dengan kekuasaan kemauan Tuhan.
Yang menjadi perselisihan, dengan kukuh, keras dan kasar, ia menguraikan
keyakinannya tanpa bisa dihentikan, yang berakibat adanya tuduh menuduh
dan ini menjadi sungguh -sungguh dan luar biasa. Pesisir Timur Jawa ada
dalam kekacauan dan didaerah Tuban, Syeikh Ahmad Mutamakkin menjadi
musuh orang banyak karena ia memperlakukan aturan Nabi dengan kasar.
Dicebolek disatukan masyarakat menjadi rusuh. Dia diserang dan dilawan
oleh para ulama dari daerah pesisir yang berkata: “Janganlah merusak
hukum karena merupakan pendurhakaan terhadap raja. Sesungguhnya raja
berwenang menghukum, karena ia adalah wakil Tuhan di dunia, siapa
membahayakan kekuasaannya”.
Tetapi KH. Mutamakkin tidak tergoyahkan,
mantap dan berani ia tidak lari dari bahaya tetapi berani menghadapi
hukuman. Banyak ulama datang memberi nasehat, tetapi ia malah tetap
terus menternakkan anjing. Dari kudus sebanyak 12, yang terbesar diberi
nama Abdul Qahar ia mempunyai empat anak anjing pemimpinnya dinamai
Qamarudin. H. Mutamakkin sangatlah angkuh. Para ulama setuju bahwa
masalah ini harus diteruskan kepada baginda raja, karena H. Mutamakkin
tidak mau dinasihati, ia telah memandang rendah negara.
Para ulama daerah pesisir mengirimkan
surat edaran kepada semua ulama dari Pajang, Mataram, Kedu, Pagelen, dan
Mancanegara bersama salinan suratnya. Menurut mereka kepercayaan yang
dipegang teguh Cabolek terletak pada tuntutannya menjadi yang sejati
yaitu Muhammad, dan ia berani menghadapi hukuman. Pada waktu para ulama
berangkat menuju ibu kota seluruh daerah pesisir ada dalam kebingungan.
Semua ulama mengambil bagian, dari bagian Timur Jawa datang Kyai Busur,
Ki Watana dari Suralaya bersama Mas Sidas Rema. Pemimpin para ulama
Ketip Anom dari daerah pesisir tiba di Kertasura. Sebelum pembicaraan
mulai sekonyong-konyong Raja tertimpa penyakit Prabu Mangkurat kemudian
wafat, dan digantikan oleh putranya Raden Mas Prabayaksa yang bergelar
Pangeran Dipati dan menempati kedudukan ayahnya setelah susuhunan
dimakamkan di Lawiyan, segera setelah penobatan dilak ukan pengajuan
perkara kepada raja.
Para ulama dari daerah pesisir berkumpul
kembali tak ada yang ketinggalan. Dan sebagaimana yang dari Pajang,
Mataram, Pagelen, Kedu dan Mancanegara tak seorangpun yang dapat membaca
Qur’an. Mereka diijinkan berangkat dan berkumpul bersama dikediaman
Maha Mantri Danurejo mereka membuat persiapan yang akan disampaikan
kepada raja dengan persetujuan para wadana.
Seluruh Wadana dari daerah pesisir dan
mancanegara serta Wadana Kertasura sepenuhnya sepakat berkata bahwa ia
(Syeikh Mutamakkin) layak dihukum. Para ulama telah tiba, kayu bakar
telah ditimbun dekat alun-alun utara, bersama dengan persembahan yang
sangat melimpah minyak kelapa dalam gentong. Pada saat H. Mutamakkin
akan dibakar, ada wadana jero yang mengetuai pengadilan namanya Raden
Demang Urawan ia sepupu pertama Sri Baginda Raja, kakak perempuannya
telah diambil sebagai Prameswari oleh Sri Baginda Raja, namanya Ratu
Kencana. Demang Urawan sangat dihormati oleh Sri Baginda Raja, pada
kesempatan ini diundang kekeraton menghadap Sri Baginda Raja.
Raja berkata lirih “Wahai Bapang, apakah
yang telah dikatakan pamanku, perdana menteri? Apakah para ulama Jawa
sedang berkumpul.” Raden Demang Urawan segera menundukan kepala dan
berkata, “Benar mereka semua telah datang dan malahan telah diberitahu
dengan baik tentang bagian-bagian pembahasan yang betul mengenai ilmu
mistik. Para ulama Jawa yang telah berkumpul jumlahnya 142, semuanya
telah dinilai dan dibagi menjadi kelompok-kelompok sekelompok golongan
rendah sekelompok golongan unggul terdiri dari 44 orang.
Pilihan lanjut telah dibuat 40
ditinggalkan dari padanya 22 telah dipilih yang terbaik darinya lalu
dipilih dan sekarang hanya tinggal 7, hanya lima dari daerah pesisir 4
ulama datang dari Pajang satu dari Mancanegara satu dari Pagelen yang
akan menyampaikan pesan duka.” Demang Urawan berkata, “Diantara
abdi-abdimu dari pajang tuanku, salah satu telah dipengaruhi yaitu ulama
dari Kedung Gede, ia telah ikut dengan Mutamakkin dan mengajukan
dirinya untuk dibakar menerima hukumanmu. Ia menjadi pengikut Cabolek,
dan keduanya sekarang satu tujuan. Mutamakkin menyatakan menjadi yang
sejati, karena itulah pamanku perdana menteri mengajukan masalahnya
kehadapan Tuanku.”
Sang raja berkata, “Bapang darimanakah
guru haji Cabolek ini yang berani menghadapi maut?” Raden Demang berkata
hormat, “Tuanku, waktu utusan-utusanmu kembali, mereka yang mengundang
dan mengawani dia berjalan tergesa-gesa, mereka adalah gentong umos
bersama Ragapita, baginda. Benarkah Haji waktu dalam perjalanan telah
dilarang, bahwa ia akan menghadapi bencana dari paduka Maharaja, tapi ia
tidak mau mundur sedikitpun, ia menerimanya dengan sepenuh hati.” Raja
berkata, “Lalu bagaimana waktu ia diperjalanan?” kata-katanya kepada
para utusan. Raden Demang berkata, “Tuanku Ia berkata begini : saya
ucapkan terima ksih kalau Sri Baginda Raja menghukumku. Anakku Ragapita,
aku akan dikerubut para ulama dan pasti akan di bakar. Dan mungkin bau
asapku akan sampai di tanah Arab, tempat aku belajar, di bawah Syeikh
Zayn dari Yaman.”
Waktu dia bermalam disebuah pondokan
tuanku, setelah melaksanakan sembahyang Isya, ia tidak tidur, ia terus
membaca kusumawicitra danding dari serat Bima suci, sebuah danding yang
ber-pada dua belas setiap barisnya. Seperti Madu Retno yang dapat
dimasukkan ke dalam Bramarawilasita, untuk dibuat merdu dan serasi.
Keduanya mempunyai sebelas pada barisnya. Dan dapat diubah menjadi lebda
jiwa Ia lalu membacanya dengan menunduk dan membengkokkan badannya.”
Raja berkata lirih, “Wahai Bapang, bagaimana ini, yang kau bicarakan
tentang ilmu rahasia, sepertinya mengikuti cara seorang Budha. Bapang
apakah gunanya itu merupakan penghinaan kepada Tuhan bila seorang
menjadi sesat.”
Raden Demang berkata, “Tuanku, ini
bukanlah suatu keburukan, menurut ajaran Haq, karena itu hanya di buat
lambang dan bukan sebagai kepercayaan. Lambang ini telah dipergunakan
oleh banyak wali, dan melalui lambang ini kesejatian telah dibukakan. Ia
mulai langsung dengan episode Bima mencebur ke dalam lautan. Tanpa
memperdulikan rasa sakit Ia mencari guru di tengah samudra, siap untuk
mati. Kalau Ia tidak menemukannya, Ia bermaksud mati di lautan, kalau Ia
tidak memperoleh kesempurnaan. Waktu tiba di tengah lautan besar, Ia di
temui seorang Dewa kecil, sekecil seekor burung pipit, lalu Dewa kecil
Dewa Ruci memerintahkan untuk memasuki kupingnya, dan Bima merasa heran
sekali. Cerita inilah yang menjadi petunjuk untuk perbuatan Syeikh
Mutamakkin dalam perjalanan.”
Tersenyum Sri Baginda Raja berkata,
“Wahai Bapang, apa pendapatmu bahwa perdana mentri dan para wadana,
semua setuju bahwa Mutamakkin langsung dihukum di alun-alunku? Kebenaran
mengatakan padaku, jangan mau menuruti nasihat pamanku perdana mentri.
Semua para ulama, dan para wadana dalam pandanganku, Bapang Mutamakkin
memaksudkan hanya untuk dirinya. Ilmu semacam ini kalau Ia tidak
mengajak orang lain membuat perubahan disana sini orang-orang dari
mancapat dan mancalima, dari mancanem dan mancapitu dan semua telah
berhasil dengan diajak untuk menolak hukuman. Dia tidak dapat di hukum
mati kalau Dia hanya berkata, “Tirulah ilmu mistikku. Dan banyak yang
telah menjadi muridnya dan kalaupun Ia tidak bertindak dengan cara ini
tetap lebih berbuat buruk lagi, saya harus tetap memaafkannya”.
Raden Demang berkata, “Betul sekali
Tuanku,” Raja berkata, “Bapang pergilah segera, sampaikan ketidak
senanganku kepada uwakku perdana mentri, juga kepada para ulama, bersama
semua para wedana supaya semua berkumpul di kepatihan. Umumkan kepada
mereka ketidak senanganku”. Lalu Ia mengundurkan diri dengan taat dan
hormat, Ia meninggalkan istana dan memanggil dua pesuruh yang taat, di
perintahnya untuk menyampaikan pesan kepatihan untuk mengumumkan bahwa:
“Besok, aku akan ke tempat Danu Rejo, akan datang pukul delapan. Untuk
menyampaikan perintah Sri Baginda Raja. Para Adipati supaya berkumpul
didalam kepatihan bersama semua ulama.”
Dengan segera para pesuruh menyampaikan
seruan tadi ke kepatihan, tak di ceritakan tentang malam itu, tetapi
besok paginya patih Danu Rejo berkumpul dengan para Dipati. Semua
menghadap ke Barat, Adipati Danu Rejo menghadap ke Selatan, tapi sedikit
miring ke Barat menghormati ulama terhormat yang telah duduk disebelah
Barat. Pada jam delapan, semua yang sudah duduk berdiri waktu Raden
Demang telah mengambil tempatnya. Semuanya kembali duduk, Ki Dipati
perdana Mentri juga duduk dengan lainnya.
Sedangkan Raden Demang segera mulai
menyampaikan perintah Sri Baginda Raja. Matanya begitu nyalang sehingga
semua adipati menjadi takut dan juga para ulama. Waktu perintah
disampaikan, ketidak-senangannya menggelisahkan. Setelah
ketidak-sengannya Sri Baginda Raja selesai disampaikan, Adipati Danu
Rejo hanya dapat berkata dua patah, dan setelah itu seraya berdiam diri,
para wadana semua menundukkan kepala. Dan bagi para ulama semua
merinding di bawah pengaruh muka Sri Baginda Raja. Mata Cabolek
berkedip-kedip seperti orang sedang sekarat. Kini seorang yang sedang
berbicara adalah Ketib Anom dari Kudus, yang menjadi marah laksana
menjangan luka. Marahnya memuncak, wataknya yang seperti singa muncul,
belikatnya naik turun laksana burung garuda mengepak sayap di medan
laga, seperti Pragalba si pahlawan, menuruti hatinya yang penuh emosi.
Ia melihat ke kanan dan ke kiri, semua
telah menundukkan kepalanya, semua rekan para ulamanya bersama para
Dipati kepalanya semua menunduk, wajahnya pucat. Ketib Anom dari Kudus
mulai menunjukkan marahnya. Ketetapannya mulai bertambah kuat, ditimpali
keberaniannya, Ia mengetatkan serbannya, menggulung lengan Baju dan
bergerak maju dua nampak angkuh tetapi kata-katanya lemah lembut seperti
Raden Bali Putra ketika dia diutus oleh Raja Ramawijaya untuk
menyampaikan peringatan keras kepada Dasamuka. Ia menimbulkan ketakjuban
orang yang melihatnya. Ia memang kelihatan tampan dan belia.
Ketib Anom: “Anakku, aku minta maaf
karena berani menyela pembicaraan mengenai ketidak-senangan Sri Baginda
Raja, yang ditujukan kepada Perdana Menteri. Semua penyampian rasa
kemarahan Sri Baginda Raja itu salah alamat.” Raden Demang Urawan merasa
kaget, dan segera balik memandang ke wajah Ketib Anom yang sedang
berbicara. Ia melihat muka dengan lengan berkecak pinggang, rambutnya
berdiri lurus sangat tebal dan berombak. Ia nampak seperti putra raja
Langka Indrajid sang Perwira seperti orang yang ditikam dan bertarung
dengan seorang duta yang bernama Bali Putra, yang waktu itu datang
berprilaku angkuh. Raden Demang dan Ketib Anom bersilang kata-kata untuk
sejenak, seperti mereka saling bergumul untuk menekan, menguji
kekuatannya bertarung dengan gigih untuk suatu kemenangan terhormat,
mereka menjadi marah menyala, memukul satu lainnya dan balik berputar
seperti didalam perang pembalasan mereka sangat keras dan
tajam.Akibatnya para ulama kembali mengangkat kepalanya begitu juga para
dipati mengangkat kepalanya tercengang waktu mendengar Ketib Anom Kudus
yang tidak sepaham dengan Raden Demang Urawan, dengan marah berkata,
“Apakah yang panjenengan anggap tidak tepat ? Ketidak-senangan baginda
Raja disampaikan kepada si Uwa, Perdana Mentri ?”
Ketib Anom berkata, “Benar anakku. Dasar
dan pokok dari perkara tidaklah cukup, alasan perdana Mentri telah
melaporkan diri karena ulama, semua dari mereka telah melaporkan itu
kepada Sri perdana Mentri yang mulia. Alasan bahwa si Uwa, Perdana
Mentri yang mulia, berani melaporkan ini dikarenakan para ulama
berpendirian teguh dalam masalah itu. Seharusnya adalah sumber dari
laporan yang mesti di jewer oleh Sri Baginda Raja. Dengan kata lain
sayalah dan semua para ulama mesti menerima kemarahan Sri Baginda Raja.
Raden Demang Urawan tertawa
terbahak-bahak mengayun kakinya dan berkata, “Betapa senangnya hatiku,
melihat seorang ulama yang melawan dengan gigih, yang berani
sungguh-sungguh menghadapi kematian, tangkas dan bisa tegar untuk
berunding dan siap tempur. Kalau ia seekor ayam jantan mestilah ia
berbulu merah berkaki hitam dengan ekor berbintik putih yang bertanding
laksana garuda. Biarlah saya orang yang menjadi atas nama Sri Baginda
Raja, menegurmu, mengapa menyebabkan kekacuan pada negara dengan membawa
masalah ini pada raja, walaupun perkaranya belum sepenuhnya tuntas,
dengan melaporkan kepada perdana mentri? Apakah menjadi maksudmu membawa
ketidak-beruntungan kepada para ulama, menimbulkan kebingugan di
kerajaan dan membawa aib pada negara?” Setelah ketidak-senangan sang
Narendra selesai disampaikan, tapi sebagaimana di ketahui tak satupun
dari kami para ulama bermaksud atau merencanakan untuk mengganggu sang
Narendra.
Ketib Anom berkata, “Anakku jika
panjenengan punya kritik padaku karena tidak menegur haji Mutamakkin,
silahkan tanya dia, Ia ada di depanku. Saya sering mendatanginya,
mengingatkan anakku tingkah lakunya yang tidak patut. Saya minta jawabmu
hai Mutamakkin, mumpung di depan pejabat, saat nyawamu hampir
melayang.”
Ki Cebolek menjawab, matanya berkedik
seperti ngantuk, “Betul sekali anakku, panjenengan datang dan
menegurnya, hanya walau aku menghadapi maut aku takkan lari. Karena
kebodohanku tak berniat berguru terus. Aku menghadapi maut yang bukan
waktunya. Aku akan mampu berusaha menambah ilmu hatiku terus memperoleh
kenyataan ini.”
Ketib Anom berkata murka, “Lha pikiran
macam apa itu, membikin sengsara dan menyakitkan, ada anjing diberi
nama, Abdul Kahar?” Semua yang mendengarkan terbelalak, Raden Demang
kakinya di ayunkan dan tertawa terbahak-bahak, ketib Anom Kudus berkata
lantang, “Kamu ini memang busuk dengan lancang membuat onar negara.
Kalau kamu mau terkenal tingkah lakumu dan bermaksud menjadi hebat
jangan tangung-tanggung bertingkah. Pindahkan gunung Merapi dan juga
Prawata, letakkanlah di atas gunung Lawu dan genggamlah di tangan kiri.
Apapun yang kau lakukan jangan tangung-tanggung, jangan mengindahkan
jiwa ragamu.”
Ketib Anom berkata dengan keras dihadapan
Mutamakkin, “Anjingnya diberi nama seperti penghulu Tuban, Abdul Qahar,
anjing yang lain diberi nama khatib Qamaruddin. Tuanku, sesungguhnya
Mutamakkin itu bukan seorang manusia. Ia telah menghina Sang Narendra
dan melukai karena sesungguhnya prilakunya naudzubillah.
Anakku itulah sebabnya aku merasa wajib
melaporkan kepada patih Adipati Danurejo, supaya menjadi perhatiannya
dan meneruskan hal itu kepada Sang Narendra. Karena sesungguhnya yang
menjadi sang Narendra kalau Ia ingkar dari setiap sunnah Nabi menjadikan
saripati Syara’ tak dihargai dan di rusak. Wahai anakku diberitakan
dalam teks Akhbaru al-Saltin. Raja digambarkan sebagai pembela iman.
Bila seorang menyebarkan ajaran mistik dan menyebabkan gangguan untuk
memperoleh pengikut dan kalau ini terjadi karena raja tidak menjaga
sunnah Nabi, pancaran wajahnya pasti lenyap.
Wahai anakku, apabila seorang raja kurnia
pancaran wajahnya susut, keharuman kerajaaannya pasti lenyap, yang
terjadi hanyalah tengik dan kaku dan akibatnya kegelapan akan turun ke
bumi dan bau busuk akan menyebar. Kenapa tidak memasang penjaga di
kerajaan sang Narpati? Sesungguhnyalah anakku, raja adalah hati jagad,
hati adalah raja didalam badan karena itu, anakku merupakan perumpamaan.
Sesungguhnya setiap mahluk hidup harus menjaga kebaikan dari hatinya.
Karena itu setiap mahluk hidup wajib menjaga raja tentang semua yang
diketahuinya di kerajaan. Karya raja seperti hati menggerakkan badan.
Kesalahan raja dipikul oleh orang-orang di bumi karena raja adalah
hatinya jagad, badan rusak kalau hatinya merana. Dan bila hati merana
yang tidak di obati maka raja yang di salahkan.”
Raden Demang Urawan berkata hormat,
“Melindungimu, Tuanku, terhadap Haji Mutamakkin.” Lalu ketib Anom Kudus
memandang dan dengan gagah mulutnya bergetar, matanya bersinar dan
dengan penuh keberanian hamba telah di getarkan oleh penglihatannya. Ia
berkata murka, “Panjenengan anakku, telah menghargai kelakuan semacam
itu dari haji Mutamakkin dan kalau demikian halnya, panjenengan anakku
telah merusak negara. Karena menjadi tugas raja untuk melindungi sunnah
Nabi, kalau seorang Raja menolak sunnah Nabi keindahannya akan lenyap
dan Ia akan membuat suram negara. Pastilah negara akan runtuh. Kalau
wajah sang Narendra hilang jelita, semua tindakannya hanyalah sebuah
kepahitan dan penderitaan”.
Sang Raja tertawa terbahak-bahak, dan
dalam pikirannya si Kudus ini orang yang berbahaya, yang menceritakan
belum menyelesaikan ceritanya tapi sang Narendra menolak dalam tawanya
dan berkata, “Kalau demikian, Bapang, marilah kita jalankan ajaran
Islam, saya berniat menghadiri sembayang Jum’at, beri tahu si Uwa Patih.
Persiapkan untukku terancang di dalam masjid. Jum’at depan aku akan
hadir bila disepakati si Uwa Patih. Karena merupakan kebiasaan lama
shalat pertama raja haruslah di masjid.”
Sang Prabu berkata lagi, “Tentang H.
Mutamakkin rupanya seperti apa?” Raden Demang Urawan berkata humor, “Ia
seperti Wisangkata, seorang calon pertapa dan kelakuannya seperti
trenggiling yang sedang sekarat. Tak ada yang perlu dikatakan tentang
penampilannya yang sangat dungu seperti kelapa. Kalau duduk, ia
menggelosor dalam satu pertemuan ia seperti kena kutuk. Tapi Dia itu
mantap satu sifat yang hamba tidak sangka juga diantar kelompoknya itu
tanpa guna. Hamba merasa heran atas kemauan sang sukma agung orang
seperti itu dapat menjadi haji. Ia telah di anugerahi memenuhi rukun
yang kelima dan di beri kesempatan mengunjungi makam Nabi, Nabi terbesar
jagad ini, kalau Ia tidak pergi naik haji Ia pantas menjadi penjual
jerami atau berdagang itik.” Sang Prabu sambil tersenyum berkata,
“Itulah bapang, telah menjadi suratan Ia di ciptakan dengan tampang
dungu tetapi di beri hati yang suci untuk menjadi petugas sukma, Ia
telah di takdirkan memilih hati suci”.
Raden Demang Urawan berkata takdzim,
“Karena itulah Tuanku, pada kesempatan ini, manusia kecil dan hina ini
telah di tuduh berkali-kali seperti orang yang memiliki beban setengah
mati memanjat sebuah tebing”. Ia terlihat kembang kempis. Marahnya ketib
Anom seperti marahnya Bala Dewa memarahi Curumis, demikianlah wajah
Mutamakkin seperti Curumis. Kalau saja sengketa itu terjadi di luar,
Cabolek akan habis terkoyak-koyak oleh Ketib Anom Kudus. Ia sangat marah
karena seekor anjing dinamakan Qamaruddin dan yang lainnya Abdul Kahar.
Karena Ia di penuhi rasa amarah seperti itu, Ia seperti ingin menikam
Haji Mutamakkin.
Sang Raja tersenyum berkata, “Bapang,
keinginanku semua yang telah di bicarakan disampikan kepada Si Uwa
Patih, aku batalkan perintahku, tak ada pembicaraan lanjutan. Aku telah
memaafkan terdakwa. Kalau Haji Ahmad Mutamakkin mengulangi tingkah
lakunya yang tidak patut di bumi ini pastilah akan akan aku hukum Haji
Mutamakkin ini. Aku jadikan Dia sasaran kemarahan di alun-alunku ini.
Tetapi inilah pengampunanku yang ku minta panjenengan melaksanakannya.
Perintahku untuk selanjutnya di teruskan kepada si Uwa Patih, kepada
semua saudaraku, perintahku untuk diumumkan secara luas. Tak seorangpun
boleh belajar ilmu haq di dalam masjid tetapi mengajarkan di luar negara
aku berikan izinku. Kalau ada yang berani menghianati perintahku, tak
ada tempat mempertanyakan dosa, akan aku laksanakan hukuman mati yang
telah aku tetapkan di alun-alun sehingga boleh disaksikan orang-orang
Kertasura Adiningrat.”
Lahu Al-Faatihah
Sumber:
- Buku Keraton Surakarta, 2008, penulis Purwadi dan Joko Dwiyanto
- *) Penulis buku Kisah Perjuangan, H.M. Imam Sanusi
- **) Azzumardi Azra dalam Jaringan Ulama
disalin dari catatan fahmi ali
https://fahmialinh.wordpress.com/2016/02/16/syekh-ahmad-mutamakkin-kajen/