![]() |
| Ngaji Selapan di Ponpes Darul Ulum Mantingan, 27 September 2025 |
Kalam Hikam Syekh Ibnu Atha'illah al-Sakandari, seorang sufi besar yang hidup pada abad ke-7 Hijriah, menyimpan mutiara hikmah mendalam bagi para salik (penempuh jalan spiritual). Salah satu hikmah yang penuh makna adalah mengenai "Sirrul Inayah" atau Rahasia Karunia Ilahi. Hikmah ini mengingatkan kita tentang hakikat kehendak dan rahmat Allah yang melampaui segala usaha dan pengetahuan manusia.
"Allah telah mengetahui bahwa hamba-hamba ingin mendapat rahasia (kebesaran) karunia Allah (sirrul inayah), maka Allah berfirman: 'Allah sendiri yang menentukan (menghususkan) rahmat dan karunia pada siapa yang dikehendaki,' dan Allah mengetahui andaikan manusia dibiarkan (mengetahui rahasianya), mungkin mereka meninggalkan amal usaha karena berserah pada keputusan dizaman azal, karena itu Allah berfirman: 'Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat pada orang-orang yang berbuat keba
Sir berarti: semua perkara yang ditutupi, karena itu dirahasiakan pada kita.
Inayah berarti: bersambungnya Irodah (kehendak Allah) dengan berhasilnya Sir di masa yang akan datang.Inti dari hikmah ini adalah bahwa rahmat dan karunia (Inayah) Allah adalah rahasia mutlak-Nya (Sirr). Allah tidak memperlihatkan ketetapan-Nya di masa depan, agar hamba tetap bersemangat dalam beramal shalih dan tidak bersandar pada pengetahuan azali semata.
Dalil Al-Qur'an
Ayat Al-Qur'an yang menjadi sandaran utama hikmah ini adalah:
1. Kehendak Mutlak dan Pengkhususan Rahmat:
"Allah menentukan rahmat-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki; dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. Ali 'Imran [3]: 74)
Ayat ini menegaskan bahwa pemilihan (pengkhususan) terhadap hamba untuk menerima rahmat dan karunia (Sirrul Inayah) adalah hak prerogatif Allah semata, tidak didasarkan pada perhitungan amal manusia secara hitungan matematis, melainkan pada kehendak Azali-Nya.
2. Rahmat Dekat dengan Kebaikan (Ihsan):
"Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS. Al-A'raf [7]: 56)
Ayat kedua ini memberikan "harapan" dan "petunjuk" praktis. Meskipun karunia adalah rahasia, Allah mengaitkannya dengan sifat Al-Muhsinin (orang-orang yang berbuat kebaikan/ber-ihsan). Ini menunjukkan bahwa amal kebaikan (ihsan) bukan penyebab mutlak datangnya Inayah, melainkan tanda dan tempat turunnya Inayah tersebut. Seseorang yang terus menerus berbuat ihsan telah menunjukkan kerelaan untuk menjadi wadah bagi karunia Ilahi.
Penjelasan
Syekh Ibnu Atha'illah al-Sakandari dalam penjelasan Hikam ini ingin menyeimbangkan antara dua pemahaman:
Tawakkal (Ketergantungan pada Azal): Hakikatnya, segala sesuatu telah ditetapkan secara azali (Sirrul Inayah). Jika ini diketahui, hamba akan cenderung meninggalkan amal.
Tuntutan Syariat (Amal): Allah memerintahkan hamba untuk beramal (Al-Muhsinin) sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.Oleh karena itu, beliau mengajarkan bahwa pengetahuan tentang Sirrul Inayah harus tersembunyi, sehingga hamba tetap bersemangat beramal tanpa merasa sombong atau putus asa. Amal baik (ihsan) adalah wujud penghambaan, bukan "harga" untuk membeli karunia.
Para Auliya (kekasih Allah) seringkali disebut sebagai orang-orang yang telah mendapatkan Inayah khusus. Pengalaman spiritual mereka seringkali berupa ilham, kasyf (terbukanya rahasia), atau firasat (kecerdasan batin). Ilham dan Kasyf adalah hasil dari kesucian hati dan ketekunan ber-riyadhah (latihan spiritual), yang memungkinkan mereka melihat kebenaran (hakikat) di balik bentuk (syariat). Namun, para auliya diajarkan untuk merahasiakan karunia ini dan kembali fokus pada amal lahiriah, menjaga keseimbangan antara hakikat dan syariat.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, meskipun mencapai maqam spiritual yang tinggi, beliau selalu menekankan pentingnya syariat dan meninggalkan hawa nafsu. Kesuksesan dakwah dan bimbingannya seringkali dipandang sebagai bukti nyata Sirrul Inayah, di mana Allah menggerakkan kehendak-Nya melalui hamba pilihan-Nya untuk memberi manfaat bagi umat. Beliau mengajarkan, kesungguhan dalam beramal shalih adalah manifestasi dari karunia yang telah diletakkan Allah di hati hamba.
Di era modern, konsep Sirrul Inayah sangat relevan untuk mengatasi masalah spiritual dan mental kontemporer:
Menghindari Kesombongan: Banyak orang yang merasa telah beramal banyak, lalu menuntut hasil atau karunia instan. Hikmah ini mengajarkan bahwa hasil akhir adalah mutlak rahasia Allah. Kita hanya diperintah untuk berbuat Ihsan (melakukan yang terbaik, seolah-olah melihat Allah). Ini menghindarkan hamba dari kesombongan spiritual ('ujub).
Melawan Keputusasaan: Di sisi lain, bagi yang merasa amalannya kurang, ayat tentang "rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan" menjadi penenang. Fokuslah pada kualitas ihsan saat ini, bukan pada hasil di masa depan yang rahasia. Berbuat baik itu sendiri adalah Inayah yang sedang berlangsung.Kesimpulan
Sirrul Inayah adalah rahasia karunia Ilahi yang tidak perlu kita cari tahu detailnya di masa depan, karena pengetahuan itu dapat melemahkan semangat amal. Allah justru mengaitkan rahmat-Nya yang dekat dengan sifat Al-Muhsinin (orang-orang yang berbuat kebaikan dan keindahan).
Oleh karena itu, cara terbaik untuk "mendapatkan" Sirrul Inayah adalah dengan:
Fokus pada Ihsan saat ini: Lakukan semua amal (ibadah, pekerjaan, interaksi sosial) dengan kualitas terbaik dan keikhlasan.
Tawakkal pada Kehendak Azali-Nya: Percaya bahwa segala sesuatu berada di bawah kendali mutlak Allah, sehingga hati tidak mudah goyah oleh keadaan tertentu.Berhenti mencari tahu Rahasia Ilahi, dan mulailah berbuat baik dengan sepenuh hati. Inilah jalan yang diajarkan oleh Syekh Ibnu Atha'illah untuk menggapai karunia yang tersembunyi.
![]() |
| Sambutan Ketua Panitia, KH. Muhammad Yahya Al Hafidz |

