Ticker

6/recent/ticker-posts

'Pujian' Sebelum Sholat Berjama’ah: Antara Syiar dan Adab

Di tengah kehidupan masyarakat Muslim di Indonesia, tradisi melantunkan 'pujian' atau sholawat dengan pengeras suara setelah adzan seringkali kita jumpai. Praktik ini, yang umumnya bertujuan untuk mengisi waktu luang menunggu imam datang, juga memberikan kesempatan kepada masyarakat sekitar yang berniat salat berjamaah di masjid/musholla agar tidak ketinggalan salat berjama'ah. Kalimat 'pujian' bisa berupa do'a, sholawat ataupun kalimah thoyyibah lain seperti tasbih, tahlil, tahmid dan lain-lain. Namun, di balik niat baik tersebut, muncul pertanyaan dan perdebatan seputar etika serta dampaknya terhadap lingkungan sekitar. Bagaimana pandangan syariat Islam mengenai hal ini? Mari kita telisik lebih dalam dengan mengacu pada Al-Qur'an, Hadits, dan sejarah Islam.


Tinjauan Dalil-Dalil Syar'i

Meskipun pujian atau dzikir setelah adzan adalah amalan yang baik, namun melaksanakannya dengan pengeras suara hingga mengganggu orang lain apalagi mengganggu mereka yang sedang melaksanakan salat berjamaah di masjid/musholla sekitarnya perlu ditinjau ulang berdasarkan dalil-dalil berikut:

Prinsip Menjaga Kekhusyukan dalam Beribadah

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al-A'raf ayat 205:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

"Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah."

Ayat ini secara eksplisit menganjurkan agar berdzikir dilakukan dengan suara yang tidak terlalu keras, bahkan dianjurkan dalam hati. Tentu, ayat ini dapat dijadikan pedoman bahwa beribadah yang paling baik adalah yang dilakukan dengan penuh kerendahan hati dan tanpa harus berlebihan dalam suara.

Rasulullah SAW juga bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri RA:

إِذَا قَرَأْتُمْ فَلَا تَغْضَبُوا بَعْضُكُمْ بَعْضًا فِي الصَّلَاةِ ، إِنَّمَا هُوَ مُنَاجَاةٌ ، فَلَا تَغْضَبُوا بَعْضُكُمْ بَعْضًا

“Apabila kalian membaca (Al-Qur'an), maka janganlah salah seorang di antara kalian mengganggu yang lain dalam sholatnya. Sesungguhnya itu adalah munajat, maka janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain." (HR. Abu Dawud)

Hadits ini sangat jelas memberikan batasan. Meskipun konteksnya adalah sholat, namun maknanya dapat diperluas pada segala bentuk ibadah. Menggunakan pengeras suara untuk pujian, yang berpotensi mengganggu orang yang sedang sholat, jelas bertentangan dengan semangat hadits ini.

Gambaran Suasana Menanti Sholat Berjamaah di Zaman Nabi

Pada zaman Rasulullah SAW, tidak ada praktik melantunkan pujian atau sholawat dengan pengeras suara setelah adzan. Bahkan, waktu itu belum ada  pengeras suara. Tidak ada juga sahabat melantunkan pujian atau solawat secara bersama-sama dengan suara keras. Waktu antara adzan dan iqamah adalah waktu yang sangat dihormati dan dimanfaatkan oleh para sahabat untuk beribadah secara personal.

Berikut adalah gambaran yang dilakukan para sahabat setelah adzan:

  • Sholat Sunnah: Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

"بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، لِمَنْ شَاءَ"

“Di antara dua adzan (adzan dan iqamah) itu ada sholat (sunnah), di antara dua adzan itu ada sholat (sunnah),” kemudian pada kali ketiganya, beliau bersabda, “bagi siapa yang mau.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sholat sunnah ini adalah amalan yang sangat dianjurkan. Para sahabat biasanya melaksanakannya secara individual, di dalam masjid, tanpa suara keras.

  • Solat Sunnah Qobliyah: Ada banyak salat rawatib yang bisa dilakukan seperti qobliyah subuh, qobliyah dhuhur, qobliyah ashr , qobliyah isya’, dan lain-lain.
  • Berdoa: Waktu antara adzan dan iqamah adalah waktu yang mustajab untuk berdoa. Nabi SAW bersabda:

"الدُّعَاءُ لَا يُرَدُّ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ"

Doa tidak akan ditolak di antara adzan dan iqamah.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

  • Beristighfar dan Dzikir: Para sahabat memanfaatkan waktu tersebut untuk beristighfar, berdzikir, atau membaca Al-Qur'an dengan khusyuk dan tenang, tanpa mengganggu orang lain.

Tidak ada catatan dalam sejarah Islam awal yang menyebutkan adanya kebiasaan melantunkan pujian dengan suara keras setelah adzan. Ini menunjukkan bahwa amalan yang paling afdhal pada waktu tersebut adalah ibadah-ibadah yang bersifat personal dan khusyu'.

'Pujian' dengan Suara Keras Bagian dari Syi'ar Islam?

Ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa melantunkan pujian dengan suara keras adalah bagian dari syi'ar (simbol) Islam. Mereka menganggapnya sebagai cara untuk menghidupkan suasana masjid dan menunjukkan keagungan Islam.

Namun, pendapat ini perlu disikapi dengan bijak:

  • Syi'ar Islam bukan hanya suara keras. Syi'ar Islam yang utama adalah adzan itu sendiri, sholat berjamaah, zakat, puasa, dan haji. Syi'ar juga mencakup akhlak mulia, kejujuran, dan kebersihan. Menegakkan syi'ar Islam yang sesungguhnya adalah dengan mempraktikkan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh), bukan hanya pada hal-hal yang bersifat seremonial.
  • Syi'ar harus membawa manfaat, bukan mudharat. Tujuan syi'ar Islam adalah untuk menarik hati manusia, bukan membuat mereka menjauhi Islam karena merasa terganggu. Jika praktik bersuara keras justru mengganggu orang lain—terutama mereka yang sedang sholat—maka hal tersebut bertentangan dengan prinsip dasar syariat yang mengedepankan kemaslahatan umum dan menghindari mafsadah (kerusakan).
  • Prinsip menjaga adab lebih utama. Dalam Islam, adab dan etika dalam berinteraksi dengan sesama Muslim dan non-Muslim sangat ditekankan. Mengganggu orang lain, bahkan dengan niat baik, bisa mengurangi pahala ibadah. Allah SWT berfirman:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." (QS. An-Nahl: 125)

Ayat ini mengajarkan kita untuk berdakwah dan berinteraksi dengan cara terbaik, yang tentunya tidak menimbulkan ketidaknyamanan.

Tulisan ini tidak bermaksud menyalahkan mereka yang melantunkan do'a dan puji-pujian setelah adzan, akan tetapi sekedar memberikan informasi bahwa ada kelompok masyarakat tertentu yang membutuhkan suasana yang tenang karena mereka sedang melaksanakan salat berjamaah, baik di masjid, musholla ataupun di rumah warga. Oleh karenanya, akan lebih bijak kiranya jika kita mau melakukan hal-hal berikut:

  • Ganti pengeras suara luar dengan pengeras suara dalam. Pujian atau shalawat tetap bisa dilantunkan, namun hanya terdengar di dalam masjid atau musholla. Dengan demikian, tradisi tetap terjaga tanpa mengganggu orang lain.
  • Kurangi volume pengeras suara. Jika memang ingin menggunakan pengeras suara luar, pastikan volumenya tidak terlalu tinggi, apalagi jika masjid/musholla sebelah sudah iqomah.
  • Perbanyak dzikir secara personal. Waktu menunggu sholat adalah kesempatan emas untuk berdzikir, membaca Al-Qur'an, atau sholat sunnah. Lebih baik setiap 'jamaah' memanfaatkan waktu tersebut untuk beribadah secara individu, tanpa harus bergantung pada pengeras suara yang hanya mengandalkan satu orang.

Dengan menerapkan solusi-solusi ini, kita dapat menjalankan tradisi yang baik ini sekaligus menjunjung tinggi adab dan etika beribadah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Kesimpulan

Praktik membaca pujian setelah adzan memang merupakan bagian dari kekayaan tradisi keagamaan di sebagian masyarakat. Namun kebaikan sebuah tradisi harus sejalan dengan prinsip-prinsip syariat, yaitu tidak menimbulkan mudharat dan selalu mengedepankan adab serta kemaslahatan bersama. Dengan demikian, ibadah kita menjadi berkah, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi seluruh masyarakat.