Ticker

6/recent/ticker-posts

Bahaya Flexing dalam Kehidupan Sosial

Flexing merupakan istilah yang menggambarkan perilaku memamerkan kekayaan, status sosial, atau pencapaian yang dimiliki. Meskipun terlihat sepele, perilaku ini memiliki dampak negatif yang serius, baik secara psikologis maupun sosial. Dalam Islam, flexing adalah perilaku tercela yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kerendahan hati, rasa syukur, dan kesederhanaan.


Definisi Flexing

Secara bahasa, flexing berasal dari kata bahasa Inggris yang berarti “melenturkan” atau “menunjukkan otot.” Dalam konteks modern, maknanya bergeser menjadi tindakan pamer atau riya. Orang yang melakukan flexing biasanya ingin mendapatkan pengakuan, pujian, atau rasa iri dari orang lain.

Bahaya flexing:

  • Riya dan Kesombongan: Ini adalah bahaya terbesar dalam pandangan Islam. Riya (pamer) adalah perbuatan melakukan ibadah atau kebaikan dengan tujuan dilihat dan dipuji orang lain. Seseorang yang flexing berisiko terjerumus ke dalam riya karena motivasinya bergeser dari rasa syukur kepada Allah menjadi mencari validasi manusia. Perilaku ini juga menumbuhkan sifat sombong, yaitu merasa diri lebih tinggi dari orang lain.
  • Menimbulkan Kedengkian: Perilaku flexing dapat memicu perasaan iri, dengki, dan permusuhan di antara sesama. Orang yang melihatnya mungkin merasa rendah diri atau tidak puas dengan kehidupannya sendiri.
  • Merusak Rasa Syukur: Fokus pada apa yang dimiliki dan memamerkannya membuat seseorang lupa bahwa semua nikmat berasal dari Allah. Alih-alih bersyukur, ia malah menjadikan nikmat tersebut sebagai alat untuk berbangga diri.

Dalil Larangan Flexing dalam Al-Qur'an dan Hadis

Dalam Islam, Allah SWT dan Rasul-Nya telah memberikan peringatan keras terhadap perilaku pamer dan kesombongan. Dalil-dalil tersebut menegaskan bahwa harta dan kenikmatan adalah ujian dan amanah, bukan alat untuk berbangga diri.

Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

Surah Al-Hadid Ayat 20:

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Artinya: "Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga-bangga di antara kamu serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian menjadi kering lalu kamu melihatnya menguning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu."

Ayat ini secara jelas menyebutkan تَفَاخُرٌ (tafakur), yaitu saling berbangga diri, sebagai salah satu sifat yang tercela dan merupakan hakikat kehidupan dunia yang fana.

Rasulullah SAW juga bersabda:

"Barangsiapa memakai pakaian syuhrah (pakaian yang menarik perhatian untuk tujuan kesombongan) di dunia, maka Allah akan mengenakan padanya pakaian kehinaan pada hari kiamat." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Hadis ini secara spesifik melarang perbuatan yang bertujuan untuk menarik perhatian dan berbangga diri, yang sejalan dengan makna flexing.

Nasihat Para Nabi, Sahabat, dan Ulama

Nabi Muhammad SAW adalah teladan terbaik dalam kesederhanaan. Meskipun beliau bisa memiliki segalanya, beliau memilih hidup sederhana dan selalu mengingatkan umatnya untuk menjauhi kesombongan.

Beliau bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi." (HR. Muslim)

Khalifah Umar bin Khattab ra. dikenal karena kesederhanaan dan kepemimpinannya yang adil. Ia seringkali berjalan di pasar dengan pakaian yang sederhana, meskipun ia adalah pemimpin dari sebuah kekaisaran besar. Beliau mengingatkan umatnya bahwa kemewahan dunia hanyalah fatamorgana.

Imam Al-Ghazali, dalam kitabnya Ihya' Ulumiddin, banyak membahas tentang bahaya riya dan 'ujub (bangga diri). Beliau menjelaskan bahwa penyakit hati ini adalah penghalang utama bagi seseorang untuk mencapai keikhlasan dan kedekatan dengan Allah.

Tips Menghindari Flexing

  • Perkuat Keimanan: Sadari bahwa segala nikmat adalah titipan dari Allah. Alih-alih memamerkannya, gunakan nikmat tersebut untuk beribadah dan membantu orang lain.
  • Membiasakan Diri Bersyukur: Fokuslah pada rasa syukur atas apa yang kita miliki, tanpa membandingkannya dengan orang lain. Dengan bersyukur, hati akan terasa lebih tenang dan damai.
  • Mencari Lingkungan yang Positif: Bergaul dengan orang-orang yang rendah hati dan tidak suka pamer. Lingkungan yang baik akan membantu kita terhindar dari perilaku tercela.
  • Menghindari Media Sosial Berlebihan: Media sosial seringkali menjadi wadah utama untuk flexing. Kurangi waktu di media sosial dan hindari mengikuti akun-akun yang memicu hasrat untuk memamerkan diri.
  • Sedekah Secara Rahasia: Sedekah yang disembunyikan merupakan salah satu cara untuk melatih keikhlasan. Hal ini akan menjauhkan kita dari riya dan pamer.

Kesimpulan

Flexing bukan sekadar tren atau gaya hidup, melainkan cerminan dari penyakit hati yang berakar dari kesombongan, riya, dan kurangnya rasa syukur. Islam dengan tegas melarang perilaku ini karena dapat merusak keikhlasan dan menimbulkan dampak negatif dalam masyarakat. Dengan meneladani akhlak Rasulullah SAW dan para sahabat, serta menerapkan tips-tips yang telah disebutkan, kita dapat menjaga hati dari godaan untuk memamerkan diri dan kembali fokus pada esensi kehidupan yang sesungguhnya, yaitu menggapai ridha Allah SWT.