Dalam Islam, masalah kenajisan suatu benda menjadi hal yang sangat diperhatikan, terutama jika berkaitan dengan makanan dan minuman. Topik mengenai wadah yang bahan dasarnya mengandung minyak babi adalah salah satu isu yang sering ditanyakan. Berikut adalah penjelasan hukumnya menurut pandangan para ulama dan organisasi Islam.
Pendapat Para Ulama Mengenai Wadah dari Bahan Najis
Para ulama fiqih memiliki perbedaan pendapat mengenai wadah atau benda yang dibuat dengan bahan najis, seperti minyak babi. Perbedaan ini bergantung pada konsep istihalah, yaitu perubahan zat najis menjadi zat lain yang suci karena proses kimiawi atau fisik.
* Pendapat Mayoritas (Mazhab Syafi'i, Maliki, Hanbali):
Mayoritas ulama berpendapat bahwa istihalah tidak dapat mensucikan zat najis. Jika suatu wadah dibuat dengan bahan baku yang najis, seperti lemak babi, maka wadah tersebut tetap dihukumi najis. Kenajisannya adalah najis 'ain (najis secara substansi), bukan najis yang menempel (najis hukmi). Oleh karena itu, wadah tersebut tidak bisa digunakan untuk menyimpan atau menyajikan makanan halal, meskipun sudah dicuci berkali-kali.
* Pendapat Mazhab Hanafi dan Sebagian Ulama Kontemporer:
Sebagian ulama, termasuk dari Mazhab Hanafi, berpendapat bahwa istihalah dapat mensucikan zat najis. Mereka berargumen bahwa jika lemak babi tersebut sudah mengalami proses produksi yang ekstrem dan berubah total menjadi bahan lain (misalnya, menjadi bagian dari plastik atau melamin) hingga tidak ada lagi sifat najisnya (bau, warna, atau rasa), maka wadah tersebut menjadi suci. Namun, pendapat ini kurang dominan di kalangan ulama Indonesia.
Pandangan Organisasi Keislaman di Indonesia:
Organisasi-organisasi Islam di Indonesia, terutama yang berafiliasi dengan mazhab Syafi'i, cenderung mengambil sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyat) dalam masalah ini.
* Nahdlatul Ulama DKI Jakarta (NU DKI):
NU DKI Jakarta, secara konsisten berpegang pada pendapat mayoritas ulama Syafi'iyah. Mereka berpendapat bahwa wadah yang dibuat dengan bahan dasar najis, seperti lemak babi, tetap dihukumi najis. Wadah semacam ini tidak bisa disucikan hanya dengan dicuci. Pandangan ini didasarkan pada prinsip kehati-hatian dalam menjaga kehalalan konsumsi umat. NU lebih memilih fatwa yang menjamin umat terhindar dari perkara syubhat (meragukan).
https://www.inilah.com/ompreng-mbg-diduga-mengandung-babi-nu-jakarta-berseberangan-dengan-pbnu
* Majelis Ulama Indonesia (MUI):
MUI juga mengambil sikap yang sama. Dalam prosedur sertifikasi halal, MUI memastikan bahwa seluruh bahan baku dan proses produksi suatu produk, termasuk wadah, bebas dari unsur babi. Jika sebuah wadah terdeteksi mengandung unsur babi dalam bahan pembuatannya, maka wadah tersebut tidak akan mendapatkan sertifikat halal dan dianggap tidak layak digunakan oleh umat Islam. Hal ini juga sejalan dengan fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh komisi fatwa MUI.
Argumentasi dan Dalil
Argumentasi utama yang digunakan adalah analogi (qiyas) antara lemak babi dengan benda najis lainnya. Dalil tentang cara mensucikan najis mughalladhah (najis berat) seperti anjing dan babi menjadi landasan hukum.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ"
Artinya: "Sucinya wadah salah seorang di antara kalian apabila dijilati anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan tanah." (HR. Muslim)
Dari hadits ini, ulama menyimpulkan bahwa najis babi, yang setara dengan anjing, hanya dapat disucikan jika najis itu menempel pada wadah. Namun, jika najisnya menyatu dalam bahan dasar wadah, maka wadah tersebut secara substansi sudah najis dan tidak bisa kembali suci hanya dengan cara tersebut.
Kesimpulan
Jika sebuah wadah, seperti "ompreng" atau wadah makanan lainnya, dibuat dengan bahan yang salah satunya adalah minyak babi, maka wadah tersebut dihukumi najis. Menurut pandangan mayoritas ulama dan organisasi Islam di Indonesia seperti NU DKI dan MUI, wadah tersebut tidak bisa disucikan dan tidak boleh digunakan untuk menyimpan makanan atau minuman yang halal bagi umat Islam.
Sikap kehati-hatian ini bertujuan untuk menjamin kehalalan dan kebersihan dalam kehidupan seorang Muslim, sesuai dengan kaidah fiqih "al-khuruj min al-khilaf mustahab" (keluar dari perselisihan itu dianjurkan) dan "al-aslu fil asy-ya' at-thaharah illa ma dalla ad-dalilu 'ala najasatihi" (asal segala sesuatu adalah suci, kecuali ada dalil yang menunjukkan kenajisannya). Namun, dalam kasus ini, sudah ada dalil dan kesepakatan bahwa babi adalah najis, sehingga penggunaannya dalam bahan dasar wadah menjadikannya najis secara permanen menurut mayoritas ulama'.
Silakan baca :
