Dalam ajaran Islam, sedekah tidak hanya dipandang sebagai tindakan memberi, tetapi juga sebagai ujian keikhlasan dan ketulusan hati. Sering kali, kita merasa ragu untuk memberi karena khawatir orang yang kita beri tidak layak, atau bahkan memanfaatkan kebaikan kita. Namun, dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Hadis memberikan pemahaman yang lebih dalam, mengajarkan kita untuk memberi tanpa memandang kondisi lahiriah penerima, karena niat dan balasan sedekah kita adalah urusan Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda:
أَعْطُوا السَّائِلَ وَإِنْ جَاءَ عَلَى فَرَسٍ
"Berilah orang yang meminta walaupun dia datang dengan mengendarai kuda." (HR. Abu Daud no. 1418; Ahmad no. 1640; Malik no. 1583)
Hadis ini adalah nasihat yang sangat kuat. Memberikan sedekah kepada peminta-minta yang terlihat kaya mungkin terasa aneh bagi kita. Namun, Rasulullah SAW memerintahkan untuk tetap memberi. Mengapa? Karena kita tidak tahu kondisi batiniahnya. Bisa jadi kuda yang ia tunggangi bukanlah miliknya, atau ia sedang dalam perjalanan jauh dan kehabisan bekal. Yang kita lihat hanya luarnya, sedangkan Allah mengetahui niat dan kondisi sebenarnya.
Ini sejalan dengan sebuah kaidah ushul fiqh:
إِنَّمَا نَحْكُمُ بِالظَّوَاهِرِ وَاللَّهُ يَتَوَلَّى السَّرَائِرَ
"Kita hanya bisa menilai sesuatu itu dari sisi lahiriah (yang tampak) saja, sedangkan apa-apa yang tersembunyi adalah mutlak urusan Allah SWT." (Imam as-Syaukani, Nailul Authar, Juz 1 hal. 369)
Prinsip ini mengajarkan kita untuk tidak berprasangka buruk. Tugas kita adalah memberi sesuai kemampuan, bukan menilai apakah seseorang pantas menerima atau tidak. Biarkan penilaian itu menjadi hak mutlak Allah.
Kisah dari hadis berikut memberikan ilustrasi yang sangat jelas tentang hikmah di balik bersedekah tanpa pandang bulu.
Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :
قَالَ رَجُلٌ : لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ، فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ، فَوَضَعَهَا فِي يَدِ سَارِقٍ، فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ: تُصُدِّقَ عَلَى سَارِقٍ فَقَالَ: اللَّهُمَّ لَكَ الحَمْدُ، لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ، فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدَيْ زَانِيَةٍ، فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ: تُصُدِّقَ اللَّيْلَةَ عَلَى زَانِيَةٍ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ لَكَ الحَمْدُ، عَلَى زَانِيَةٍ؟ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ، فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ، فَوَضَعَهَا فِي يَدَيْ غَنِيٍّ، فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ: تُصُدِّقَ عَلَى غَنِيٍّ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ لَكَ الحَمْدُ، عَلَى سَارِقٍ وَعَلَى زَانِيَةٍ وَعَلَى غَنِيٍّ، فَأُتِيَ فَقِيلَ لَهُ: أَمَّا صَدَقَتُكَ عَلَى سَارِقٍ فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعِفَّ عَنْ سَرِقَتِهِ، وَأَمَّا الزَّانِيَةُ فَلَعَلَّهَا أَنْ تَسْتَعِفَّ عَنْ زِنَاهَا، وَأَمَّا الغَنِيُّ فَلَعَلَّهُ يَعْتَبِرُ فَيُنْفِقُ مِمَّا أَعْطَاهُ اللهُ
Artinya : Seseorang mengatakan : “Aku akan memberikan sebuah sedekah.” Lantas ia pun pergi membawa sedekahnya. Namun ternyata sedekahnya jatuh ke tangan seorang pencuri. Keesokan harinya, orang-orang ramai membicarakan, “Engkau telah bersedekah kepada pencuri.” Ia pun mengatakan : “Ya Allah, Segala puji bagi-Mu. Aku akan memberikan sedekah lagi.” Lantas ia pun pergi membawa sedekahnya lagi. Namun ternyata sedekahnya jatuh ke tangan seorang wanita pezina. Keesokan harinya, orang-orang kembali ramai membicarakan : “Tadi malam engkau bersedekah kepada seorang pezina.” Ia pun mengatakan lagi : Ya Allah, Segala puji bagi-Mu. Sedekahku jatuh kepada pezina. Tapi aku akan bersedekah lagi. Dia lantas pergi membawa sedekahnya. Namun, kali ini sedekahnya diterima oleh orang yang sudah kaya. Keesokan paginya, orang-orang ramai membicarakan, “engkau bersedekah kepada orang yang sudah kaya.” Ia lantas mengatakan lagi : “Ya Allah, segala puji hanya milik-Mu. Sedekahku jatuh ke tangan seorang pencuri, pezina, dan orang yang sudah kaya. (Dari kejadian ini, tak berselang lama ia bermimpi, dalam mimpinya itu) ia didatangi seseorang yang mengabarkan (bahwa sedekahnya sudah diterima) : “Adapun sedekahmu kepada pencuri, bisa saja menjauhkannya dari kebiasaan buruknya yaitu mencuri. Kemudian sedekahmu kepada pezina, bisa saja menjauhkannya dari kebiasaan buruknya yaitu berzina. Sedangkan sedekahmu kepada orang kaya, mudah-mudahan ia mau mengambil pelajaran dari sedekahmu itu, kemudian ia jadi mau mengikutinya dan menyedekahkan sebagian yang diberikan Allah kepadanya. (HR. Bukhari no.1421; Muslim no. 1022)
Dalam hadis ini, seorang laki-laki bersedekah dengan niat tulus, namun sedekahnya jatuh kepada orang yang tak terduga: seorang pencuri, pezina, dan orang kaya. Secara logika manusia, ketiganya dianggap "tidak layak" menerima sedekah. Namun, Allah justru memberikan hikmah yang luar biasa melalui mimpi laki-laki tersebut:
* Sedekah untuk pencuri: bisa jadi sedekah itu membuatnya insaf dan berhenti mencuri.
* Sedekah untuk pezina: bisa jadi sedekah itu menyentuh hatinya dan membuatnya berhenti dari perbuatan zina.
* Sedekah untuk orang kaya: bisa jadi sedekah itu menjadi pelajaran baginya untuk berbagi dari harta yang Allah berikan.
Kisah-kisah di atas mengajarkan kita bahwa niat tulus saat bersedekah lebih penting daripada siapa yang menerima. Memberi tanpa mengharapkan balasan, dan tanpa menilai, adalah bentuk keikhlasan tertinggi.
Sebagai contoh, bayangkan kita sedang berada di perempatan jalan dan seorang pemuda meminta uang. Terlihat dari penampilannya, ia mungkin bisa bekerja. Alih-alih berprasangka dan mengabaikannya, kita bisa memberinya sedekah. Kita tidak tahu apa yang sedang ia alami. Bisa jadi ia sedang putus asa mencari pekerjaan, atau sedang dalam perjalanan ke rumah namun kehabisan ongkos. Sedekah kita, sekecil apa pun, bisa jadi merupakan harapan yang ia butuhkan.
Pada akhirnya, hikmah dari sedekah tidak selalu terlihat secara langsung. Memberi kepada orang yang "tidak pantas" mungkin justru menjadi perantara bagi Allah untuk memberikan hidayah kepada mereka. Dengan bersedekah, kita membuka pintu kebaikan, baik untuk diri kita sendiri maupun bagi orang lain yang mungkin sedang berada di persimpangan jalan kehidupan.