Ticker

6/recent/ticker-posts

Tradisi Weton dalam Tinjauan Islam: Harmoni atau Konflik?


Indonesia kaya akan budaya, dan salah satunya yang masih sangat kental adalah tradisi Jawa. Kepercayaan terhadap weton, atau perhitungan hari pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) yang dikaitkan dengan nasib, rezeki, dan perjodohan, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan banyak masyarakat. Namun, bagaimana pandangan Islam terhadap fenomena ini? Apakah tradisi ini dapat berjalan beriringan dengan ajaran syariat, atau justru bertentangan dengan kemurnian akidah?

Keyakinan dan Praktik di Masyarakat
Kepercayaan pada weton telah mengakar kuat di berbagai lapisan masyarakat. Tidak sedikit orang tua yang menolak perjodohan anak mereka hanya karena perhitungan weton tidak "cocok." Banyak pula yang mendatangi "orang pintar" atau dukun untuk meminta petunjuk hari baik (weton) untuk memulai suatu hajat, seperti membangun rumah, pindah, atau bahkan memulai usaha. Praktik ini menunjukkan kuatnya keyakinan bahwa weton memiliki kekuatan penentu nasib, yang sering kali dianggap lebih penting daripada pertimbangan rasional atau kehendak Tuhan.

Pandangan Islam dan Hukum Syariah
Dalam Islam, praktik mengaitkan nasib dengan hari, tanggal, atau hal-hal gaib lainnya disebut tathayyur atau tanjim, yaitu kepercayaan terhadap kesialan atau keberuntungan dari sesuatu. Ulama sepakat bahwa praktik ini adalah haram dan termasuk perbuatan syirik.
Allah SWT adalah satu-satunya Zat yang Maha Kuasa dan berhak menentukan takdir, nasib, rezeki, dan jodoh setiap hamba-Nya. Keyakinan bahwa ada kekuatan lain yang mengatur hal tersebut, baik itu hari pasaran, bintang, atau bahkan dukun, adalah bentuk syirik kecil yang dapat mengikis keimanan. Jika keyakinan ini sampai pada tahap meyakini sepenuhnya bahwa weton adalah penentu takdir, maka bisa meningkat menjadi syirik besar, yang dapat mengeluarkan seseorang dari akidah Islam.

Dalil dari Al-Qur'an
Al-Qur'an menegaskan bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman Allah, dan manusia tidak memiliki kuasa untuk mendatangkan manfaat atau menolak bahaya kecuali atas izin-Nya.
Firman Allah dalam Surat At-Taubah ayat 51:
قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَىٰنَا ۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ ٱلْمُؤْمِنُونَ
Terjemahan: "Katakanlah, 'Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.'"
Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa takdir adalah hak prerogatif Allah. Percaya pada weton sebagai penentu nasib berarti telah mengurangi kadar tawakal kita kepada-Nya.

Merusak Kemurnian Akidah
Dampak paling serius dari kepercayaan ini adalah tergerusnya kemurnian tauhid. Ketika seseorang lebih mempercayai ramalan atau perhitungan weton daripada janji Allah, maka ia telah meletakkan keyakinan pada sesuatu yang sia-sia. Hal ini membuat hati menjadi cemas, gelisah, dan tidak tenang, karena selalu bergantung pada hal-hal yang tidak pasti dan tidak memiliki landasan agama. Alih-alih bertawakal kepada Allah dalam menghadapi kesulitan, mereka justru mencari jalan keluar melalui cara-cara yang bertentangan dengan syariat.

Jalan Kompromi
Apakah ini berarti semua tradisi harus dibuang? Tentu tidak. Islam tidak melarang kita menghargai dan melestarikan budaya, selama tradisi itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.
Jalan tengah yang bisa ditempuh:
 * Meluruskan Niat: Jadikan perhitungan weton sebagai bagian dari seni budaya atau kearifan lokal semata, bukan sebagai penentu takdir. Boleh saja melihat weton untuk sekadar mengetahui tanggal, tetapi keyakinan mutlak harus tetap pada takdir Allah.
 * Harus ada pemahaman bahwa kunci kebahagiaan rumah tangga adalah akhlak, saling pengertian, dan ketaatan kepada Allah, bukan kecocokan weton.
 * Memperkuat Tawakal: Mengajak masyarakat untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, berdoa, dan bertawakal dalam setiap urusan, termasuk perjodohan. Jika sebuah pernikahan dilandasi oleh niat baik dan ketaatan kepada Allah, maka Allah akan memberkahinya, terlepas dari perhitungan weton.

Kesimpulan
Kepercayaan pada weton sebagai penentu nasib adalah praktik yang sangat berisiko bagi kemurnian akidah seorang Muslim. Ia dapat menjerumuskan seseorang ke dalam lembah syirik, yang merupakan dosa terbesar dalam Islam. Oleh karena itu, sudah semestinya kita kembali pada ajaran dasar agama, menjadikan Allah sebagai satu-satunya penentu takdir. Tradisi boleh dilestarikan sebagai warisan budaya, tetapi tidak boleh dijadikan pegangan dalam beragama. Kehidupan, rezeki, jodoh, dan segala urusan harus dikembalikan sepenuhnya kepada kehendak Allah.