Maqam fana dan baqa adalah dua maqam (tingkatan spiritual) yang sangat tinggi dalam ajaran tasawuf, terutama yang dijelaskan dalam Kitab Al-Hikam karya Ibnu Atha'illah al-Sakandari. Kedua maqam ini saling berkaitan dan menjadi puncak perjalanan spiritual seorang salik (penempuh jalan tasawuf).
Maqam Fana
Secara harfiah, fana berarti "musnah" atau "hilang". Dalam konteks tasawuf, fana adalah kondisi spiritual di mana seorang hamba benar-benar meleburkan diri dari keberadaan dan kehendak pribadinya. Ini bukan berarti hilangnya fisik atau identitas diri secara total, tetapi musnahnya kesadaran akan ego, nafsu, dan keakuan. Seorang yang mencapai maqam fana tidak lagi melihat dirinya sebagai pelaku, tetapi hanya sebagai wadah di mana kehendak Allah bersemayam.
Ibnu Atha'illah menjelaskan fana sebagai terhapusnya segala sesuatu selain Allah dari hati seorang hamba. Kesadaran akan dunia, kenikmatan, bahkan amal ibadah sekalipun, sirna. Yang tersisa hanyalah kesadaran akan keesaan Allah (tauhid) yang murni. Ini adalah tahapan di mana seorang salik benar-benar merasakan dan menyaksikan bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah. Contoh sederhana adalah seorang salik yang beribadah tidak lagi merasa bangga atau melihat ibadahnya sebagai hasil usahanya, melainkan semata-mata anugerah dari Allah.
Maqam Baqa
Setelah mengalami fana, seorang salik akan memasuki maqam baqa. Secara harfiah, baqa berarti "kekal" atau "abadi". Maqam ini adalah kelanjutan dari fana, di mana seorang hamba kembali kepada kesadaran diri setelah fana, namun dengan cara yang berbeda. Di maqam baqa, seorang hamba kembali menjalani kehidupan sehari-hari, berinteraksi dengan dunia, dan melakukan ibadah, tetapi dengan kesadaran ketuhanan yang abadi di dalam hatinya.
Ibnu Atha'illah menjelaskan baqa sebagai kembalinya hamba untuk melayani setelah mencapai kesadaran fana. Seorang yang baqa tidak lagi terpengaruh oleh dunia, karena hatinya telah tertambat pada Allah. Mereka melihat segala sesuatu di alam semesta ini sebagai manifestasi (teofani) dari nama-nama dan sifat-sifat Allah. Perilaku mereka tidak lagi digerakkan oleh nafsu atau keinginan pribadi, melainkan oleh kasih sayang dan kehendak Allah. Mereka adalah manusia sempurna yang hidup di dunia tetapi jiwanya telah mencapai keabadian bersama Allah.
Kaitan Fana dan Baqa dalam Al-Hikam
Ibnu Atha'illah menempatkan fana sebagai prasyarat untuk mencapai baqa. Ia mengibaratkan fana sebagai proses mengosongkan wadah (hati) dari segala kotoran ego dan keakuan, sementara baqa adalah proses mengisi wadah yang bersih itu dengan cahaya ketuhanan. Tanpa fana, baqa tidak akan terwujud.
Dalam Kitab Al-Hikam, Ibnu Atha'illah menekankan bahwa fana bukanlah tujuan akhir, melainkan jembatan menuju baqa. Tujuan utama adalah berkhidmat kepada Allah dengan kesadaran yang paripurna. Seorang salik yang hanya mencapai fana tanpa baqa dapat terjebak dalam kondisi "hilang" atau "mabuk spiritual" yang membuatnya jauh dari tugasnya sebagai khalifah di bumi. Sebaliknya, seorang yang baqa adalah individu yang seimbang: hidup di tengah masyarakat, menjalankan syariat dengan sempurna, namun hatinya selalu bersama Allah. Inilah puncak kesempurnaan seorang hamba dalam pandangan tasawuf Al-Hikam.
![]() |
Masjid Al Mujahidin Bandengan Jepara |