Ticker

6/recent/ticker-posts

Hukum Memprotes Kebijakan Pemerintah yang Tidak Berpihak pada Rakyat: Perspektif Hukum Positif dan Islam

Protes terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat adalah isu yang kompleks, melibatkan hak-hak sipil, etika, dan dalam beberapa konteks, prinsip-prinsip agama. Dalam negara demokratis, hak untuk menyampaikan pendapat dan memprotes adalah bagian fundamental dari kebebasan berekspresi. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah: bagaimana batasannya, apa dasar hukumnya, dan bagaimana Islam memandang hal ini? Artikel ini akan mengupas tuntas isu tersebut, dengan menggabungkan perspektif hukum, sejarah Islam, dan solusi praktis.

Dasar Hukum Memprotes Kebijakan Pemerintah

Secara hukum, hak untuk memprotes dijamin oleh konstitusi di banyak negara demokratis, termasuk Indonesia. Di Indonesia, Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum juga mengatur tata cara dan batasan dalam penyampaian aspirasi.

Namun, kebebasan ini tidak bersifat mutlak. Batasan-batasan tersebut mencakup larangan tindakan yang anarkis, merusak fasilitas umum, mengganggu ketertiban, dan membahayakan keselamatan orang lain. Protes yang ideal adalah yang dilakukan secara damai, terorganisir, dan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.

Referensi dalam Dunia Islam di Masa Lalu

Dalam sejarah Islam, hubungan antara rakyat dan penguasa (ulil amri) adalah topik yang sering dibahas. Sebagian besar ulama klasik menekankan pentingnya ketaatan kepada penguasa, selama penguasa tidak memerintahkan hal-hal yang bertentangan dengan syariat. Namun, ketaatan ini tidak berarti tanpa kritik.

  • Prinsip Amar Ma'ruf Nahi Munkar: Ini adalah prinsip fundamental dalam Islam yang berarti "mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran." Prinsip ini tidak hanya berlaku untuk individu, tetapi juga untuk masyarakat dan penguasa. Jika penguasa melakukan kemungkaran atau kebijakan yang merugikan rakyat, para ulama dan rakyat memiliki tanggung jawab moral untuk menasihati dan mengingatkan.

  • Contoh Sejarah: Khalifah Umar bin Khattab adalah contoh pemimpin yang sangat terbuka terhadap kritik. Beliau pernah mengatakan, "Jika kalian melihat saya menyimpang, luruskanlah saya dengan pedang kalian." Sikap ini menunjukkan bahwa kritik dan koreksi terhadap penguasa adalah hal yang wajar dan diperlukan. Para sahabat seringkali memberikan nasihat dan teguran kepada khalifah secara langsung, baik melalui dialog atau dalam forum publik.

  • Pendekatan Nasihat (al-Nashiha): Para ulama klasik seperti Imam Nawawi dan Ibnu Taimiyah menekankan bahwa bentuk protes yang paling utama dalam Islam adalah dengan memberikan nasihat (al-Nashiha) kepada penguasa secara pribadi dan dengan cara yang baik. Tujuannya adalah untuk memperbaiki, bukan untuk menjatuhkan atau menciptakan kekacauan.

Namun, sejarah juga mencatat adanya protes yang lebih keras. Peristiwa pemberontakan terhadap Khalifah Utsman bin Affan, meskipun kontroversial, menunjukkan adanya ketidakpuasan rakyat yang berujung pada konflik. Sebagian besar ulama sepakat bahwa pemberontakan bersenjata (bughat) terhadap penguasa Muslim yang sah harus dihindari, kecuali jika penguasa tersebut secara terang-terangan kafir atau mengabaikan syariat secara total, karena dapat menimbulkan kerusakan (mafsadah) yang lebih besar.

Cara Penyampaian Aspirasi yang Sebaiknya Dilakukan

Penyampaian aspirasi yang efektif dan konstruktif harus dilakukan dengan cara-cara yang bijaksana. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:

  • Dialog dan Negosiasi: Mengupayakan pertemuan dengan perwakilan pemerintah atau anggota parlemen untuk menyampaikan keluhan dan usulan secara langsung.

  • Aksi Damai dan Terorganisir: Melakukan demonstrasi atau aksi massa yang terencana, tanpa kekerasan, dan mematuhi peraturan yang berlaku. Spanduk, orasi, dan pernyataan harus disampaikan dengan jelas dan fokus pada isu yang ingin diperjuangkan.

  • Memanfaatkan Media: Menggunakan media massa, media sosial, dan platform daring lainnya untuk menyebarkan informasi, edukasi publik, dan membangun dukungan.

  • Jalur Hukum: Mengajukan gugatan judicial review (uji materi) terhadap undang-undang atau kebijakan yang dianggap merugikan ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.

Apa yang Harus Dilakukan Rakyat Jika Tidak Didengarkan?

Jika semua upaya damai tidak membuahkan hasil, dan pemerintah tetap tidak mendengarkan, rakyat memiliki beberapa opsi, meskipun dengan batasan yang ketat:

  • Pembaruan Tuntutan dan Strategi: Evaluasi kembali tuntutan dan strategi perjuangan. Mungkin perlu ada pendekatan yang berbeda, misalnya dengan menggalang dukungan dari kelompok-kelompok lain, atau dengan kampanye boikot non-kekerasan.

  • Menggugat Pemerintah Secara Hukum: Melakukan gugatan terhadap kebijakan pemerintah di pengadilan. Ini adalah cara legal yang dapat memaksakan perubahan.

  • Memperkuat Organisasi Rakyat: Membentuk atau memperkuat organisasi masyarakat sipil (CSO), serikat pekerja, atau kelompok advokasi yang solid untuk memiliki daya tawar yang lebih kuat.

  • Proses Politik Demokrasi: Memanfaatkan momen pemilihan umum untuk memilih perwakilan yang lebih pro-rakyat, atau bahkan mengajukan calon dari kalangan mereka sendiri.

Kesimpulan

Hukum memprotes kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat diakui baik dalam hukum modern maupun dalam prinsip-prinsip Islam. Protes adalah hak konstitusional yang penting dalam negara demokratis, dan dalam Islam, hal ini adalah bagian dari tanggung jawab amar ma'ruf nahi munkar. Namun, kunci dari semua ini adalah kedamaian dan kondusivitasProtes harus dilakukan secara damai, terorganisir, dan berorientasi pada perbaikan, bukan kerusakan. Jika pemerintah tidak mendengarkan, rakyat harus tetap berada dalam koridor hukum, memanfaatkan jalur politik, dan memperkuat posisi mereka melalui organisasi dan advokasi yang terstruktur. Tindakan anarkis atau kekerasan hanya akan menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar dan melemahkan legitimasi perjuangan. Pada akhirnya, keberhasilan perjuangan rakyat terletak pada kemampuan mereka untuk bersatu, terorganisir, dan menyampaikan aspirasi dengan cara yang cerdas dan strategis.