Dalam kehidupan modern yang serba cepat, sering kali kita terjebak dalam perlombaan untuk mendapatkan lebih banyak. Lebih banyak uang, lebih banyak barang, lebih banyak pencapaian. Namun, Islam mengajarkan sebuah filosofi yang lebih mendalam dan menenangkan: qana'ah atau merasa cukup. Konsep ini bukan berarti pasif atau tidak mau berusaha, melainkan sebuah sikap hati yang membuat kita mensyukuri apa yang ada, sehingga hidup terasa lebih tenang dan berkah.
Penjelasan dan Dalil
Konsep ini digambarkan dengan indah dalam sebuah hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas RA:
لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا ، وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
"Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6436)
Hadits ini adalah cerminan fitrah manusia yang cenderung tidak pernah merasa puas. Sebesar apa pun harta yang dimiliki, selalu ada keinginan untuk menambahnya. Keinginan ini tak akan pernah berakhir, kecuali saat kematian menjemput, di mana satu-satunya yang memenuhi perutnya adalah tanah kubur.
Sikap hati yang penuh rasa cukup ini juga ditekankan oleh para ulama. Syeikh Ibnu Athaillah dalam kitabnya Al-Hikam menulis:
مِنْ تَمَامِ النِّعْمَةِ عَلَيْكَ أنْ يَرْزُقَكَ ما يَكْفِيْكَ وَيَمْنَعَكَ مَا يُطْغِيْكَ. لِيَقِلَّ مَا تَفْرَحُ بِهِ، يَقِلَّ مَا تَحْزَنُ عَلَيْهِ
"Nikmat dari Allah SWT yang paling sempurna adalah bahwa Allah SWT memberi rezeki yang cukup kepadamu; dan tidak memberikan terlalu berlebihan, yang justru akan membuatmu berbuat lewat batas. Karena Tatkala berkurang apa yang membuatmu bahagia, maka berkurang pula apa yang membuatmu sedih.” (Syeikh Ibnu Athaillah, al-Hikam, Hikmah no. 226-227)
Kalimat ini mengajarkan kita bahwa kekayaan berlebih bisa menjadi ujian. Terkadang, sesuatu yang terlalu banyak justru membawa kesombongan, kezaliman, dan pada akhirnya, kesedihan saat kehilangan. Sebaliknya, saat kita merasa cukup, kebahagiaan kita tidak akan tergantung pada hal-hal materi, dan kesedihan kita saat kehilangan sesuatu pun tidak akan terlalu mendalam.
Meneladani Sikap Qana'ah dari Para Sahabat
Prinsip qana'ah bukanlah teori semata, melainkan telah dicontohkan dengan indah oleh para nabi, sahabat, dan ulama terdahulu.
Rasulullah SAW adalah teladan terbaik. Beliau hidup sangat sederhana meskipun memiliki kekuasaan dan pengaruh. Seringkali, beliau hanya memiliki makanan seadanya di rumah. Aisyah RA pernah berkata, "Demi Allah, keluarga Muhammad tidak pernah kenyang dari roti gandum selama dua hari berturut-turut sampai beliau wafat." (HR. Bukhari & Muslim). Kesederhanaan ini menunjukkan bahwa beliau tidak pernah menjadikan harta sebagai tujuan hidup.
Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dikenal sebagai saudagar kaya sebelum masuk Islam, namun setelahnya, ia menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah. Ketika ditanya, "Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?" Beliau menjawab, "Allah dan Rasul-Nya." Sikapnya menunjukkan bahwa harta tidak memiliki nilai baginya jika dibandingkan dengan keimanan.
Umar bin Khattab RA, sang Khalifah yang menguasai wilayah luas, hidup dalam kesederhanaan. Baju yang ia pakai seringkali memiliki tambalan. Ketika utusan dari Romawi datang dan melihat Khalifah tidur di bawah pohon tanpa pengawalan, mereka terkejut. Sikap qana'ah inilah yang membuat para pemimpin terdahulu disegani, karena mereka tidak rakus dan hanya memikirkan kemaslahatan umat.
Penerapan di Zaman Sekarang dan Solusinya
Di era modern ini, budaya konsumerisme mendorong kita untuk terus mengejar dan memiliki. Iklan, media sosial, dan perbandingan dengan orang lain sering kali membuat kita merasa kekurangan. Kita merasa wajib punya mobil, bahkan yang terbaru, ponsel tercanggih, atau liburan paling mewah.
Sikap ini pada akhirnya menciptakan:
Tekanan finansial: Kita terlilit utang demi gaya hidup yang sebenarnya tidak kita butuhkan.
Kecemasan dan ketidakbahagiaan: Fokus kita terus-menerus pada apa yang tidak kita miliki, bukan pada apa yang sudah kita punya.
Perilaku lewat batas (ṭhugyān): Harta yang berlebih bisa membuat kita lupa diri, sombong, bahkan menindas orang lain.
Solusi dari permasalahan ini bukanlah berhenti berusaha, melainkan mengubah perspektif. Berikut beberapa langkah praktisnya:
Fokus pada Kebutuhan, Bukan Keinginan: Bedakan mana yang benar-benar kita butuhkan untuk hidup layak dan mana yang hanya sekadar keinginan semata.
Latihan Syukur Harian: Setiap hari, luangkan waktu untuk bersyukur atas nikmat-nikmat kecil yang sering kita abaikan, seperti kesehatan, keluarga, makanan, dan tempat tinggal.
Membuat Batasan Finansial: Atur anggaran dan jangan membeli sesuatu hanya karena tren. Alihkan sebagian pendapatan untuk sedekah atau membantu orang lain, yang akan menumbuhkan rasa empati dan syukur.
Kesimpulan
Sikap "sedikit tapi cukup" adalah kunci menuju ketenangan batin. Ia bukan sekadar konsep, melainkan sebuah jalan hidup yang membebaskan kita dari siklus mengejar materi yang tak ada habisnya. Dengan merasa cukup, kita bisa menikmati hidup, merasa tenang, dan fokus pada hal-hal yang lebih penting dan kekal, seperti ibadah, keluarga, dan kebahagiaan sejati. Pada akhirnya, kebahagiaan sejati bukanlah tentang seberapa banyak yang kita miliki, tetapi tentang seberapa besar kita mampu bersyukur atas apa yang sudah Allah karuniakan.
"Hidup ini bukan tentang seberapa besar istanamu, melainkan seberapa lapang hatimu. Karena kebahagiaan sejati tak pernah bersemayam di kemewahan, tapi di dalam hati yang pandai bersyukur."